Imam Ali as berkata, “Tidak ada yang dapat menggantikan akhirat, dan kehidupan
ini tidak sebanding untuk kita tukarkan” (Ghurar al-Hikam) Sering kali kita
menjual “diri” kita dengan murah. Apalagi sebagai orang Islam yang
lebih sering berkehidupan di tengah-tengah maraknya kebudayaan dunia Barat,
yang hampir semua hal masih patut untuk kita pertanyakan terlebih dahulu
apakah halal atau tidak (baik itu makanan, entertainment, suasana dan lingkungan
sekitarnya ataupun hal lainnya), tapi tetap saja kita sudah terbiasa untuk tetap
melakukannya dengan mudah.
Ajaran Islam hampir selalu menitikberatkan pada hal peperangan dengan hawa
nafsu kita. Bahkan kita diajarkan bahwa hal tersebut merupakan perperangan yang
paling berat bagi setiap manusia. Karena itu, sangatlah penting agar kita
senantiasa selalu mengambil keputsan-keputusan yang sifatnya dapat membantu diri
kita untuk melalui cobaan hidup ini. Lebih lagi terhadap hal-hal yang menyangkut
godaan-godaan duniawi sehingga pada akhirnya kita dapat menuju kepada penguasaan
terhadap diri kita sendiri.
Seringkali kita dengan mudahnya melakukan hal-hal yang baru-baru saja dicap
halal. Bahkan, begitu kita mendengarkan bahwa hal yang bersangkutan dinyatakan
halal (tidak dilarang), saat itu juga kita langsung melakukannya, tanpa terlebih
dahulu memikirkan: “Ya, memang hal itu tidak dilarang, tapi apakah hal tersebut
merupakan hal terbaik untuk saya lakukan saat ini? Dan apakah hal tersebut akan
membawa diri saya lebih dekat kepada Allah Swt ataukah sebaliknya?”
Seseorang pernah mendatangi Khalifah Keenam Muslimin, Imam Jafar Shadiq as dan
menanyakan, “Wahai Imam, aku ingin membangun sebuah rumah yang besar, apa
pendapat Anda terhadap hal ini?” Sang Imam menjawab, “Walaupun tidak ada
larangan terhadap hal itu, seorang mukmin seharusnya tidak punya waktu untuk
hal-hal seperti itu.” Cukup jelas apa yang dikatakan Sang Imam, bahwa untuk
membangun sebuah rumah besar memang halal dan tidak dilarang, tetapi bagi
seorang mukmin yang benar, seharusnya tidak memiliki waktu untuk disia-siakan
pada hal seperti itu.
Seharusnya kita bertanya terlebih dahulu kepada diri kita sendiri…, apakah kita
sedang menjual murah diri kita hanya sekedar untuk memperoleh/mendapatkan
hal-hal yang bersifat materi dan duniawi? Apakah kita sudah tidak lagi mampu
membawa diri kita untuk menuju kepada tingkatan tertinggi sebagaimana Allah Swt
sudah sebelumnya memberikan kemampuan tersebut pada diri kita? Bukankah kita
sudah yakin bahwa keberadaan Allah Swt sebagai Sang Pencipta dari segala-galanya
adalah lebih dekat dari pada urat-nadi kita? Kenapa kita dengan mudahnya tetap
saja menjual murah diri kita sendiri…?
Melakukan dosa dapat dikatakan sebagai sebuah proses. Seseorang tidaklah dapat
dinyatakan sebagai pelaku dosa yang sudah terbiasa (apalagi menyangkut dosa-dosa
besar) hanya dari satu kali saja situasi perlakuan. Jikalau kita sudah merasa
terbiasa untuk melakukan dosa tanpa adanya rasa penyesalan, itu disebabkan
karena kita selalu membiarkan saja masuknya kesempatan bagi diri kita untuk
semakin terbawa dan bahkan hanyut. Di saat itulah diri kita sudah mulai rasa
nyaman untuk tidak lagi harus berusaha mengejar yang “terbaik” untuk diri kita.
Perlahan-lahan kita mulai terbiasa puas dengan diri yang lebih rendah, dan
bahkan bersedia untuk berkompromi pula…
Sering kali kita dengar bahwa pilihan itu selalu hanya antara yang baik dan
buruk, ataupun antara benar dan yang salah. Padahal, jika kita membuka lebar
pemikiran kita untuk berpikir secara kritis dan positif, jauh lebih bermakna
jika kita membataskan pilihan kita itu hanya kepada yang “baik” dengan yang
“terbaik”. Karena yang akan terjadi, jika kita pilih yang “baik” dengan
mengorbankan yang “terbaik”, maka diri kita akan merasa tidak lagi terdorong
untuk lebih maju, merasa cukup puas dengan keadaan di saat itu, dan bahkan rela
melepas begitu saja semua kesempatan yang datang yang dapat mambawa diri kita
menuju kepada kesempurnaan. Apakah hal ini yang sungguh-sungguh kita inginkan
bagi diri kita? Memang untuk memilih pilihan yang “terbaik” mengharuskan kita
untuk bekerja dan berusaha jauh lebih berat dibandingkan pilihan yang “baik”
saja. Akan tetapi bukankah sebagai seorang mukmin sudah meyakini bahwa jika
seseorang memperbaiki dirinya lebih dari sekedar yang baik-baik saja dalam
proses mendekatkan diri kepada Allah Swt, manfaatnya dan pahalanya jauh melebihi
dari apa yang mampu kita bayangkan…?
Ada sebuah contoh yang mungkin hampir semua dari kita telah mengalaminya
baru-baru ini. Memang belum ada satu pun fatwa Islam yang jelas-jelas melarang
kita untuk merayakan pergantian tahun baru (Masehi). Akan tetapi, bila tanggal
yang dimaksud jatuh di tengah-tengah suasana dimana kita sedang berduka dalam
atas terbunhnya Imam Husain as, apa masih merupakan pilihan terbaik untuk
tetap kita merayakan tahun baru tersebut..? Apakah ketika kita sedang berpesta
merayakan tahun baru serta saling berucap selamat atas pergantian tahun akan
membawa sebuah efek yang positif bagi kita? Ataukah bahkan menjauhkan lagi kita
dari rasa bersedih dan berkabung di saat yang harusnya kita mengenang
pengorbanan- pengorbanan Imam Husain…?
Ayatullah Dastaghaib Shirazi menyebutkan dalam bukunya Greater Sins (Dosa-dosa
Yang Lebih Besar) bahwa menurut Allamah Majlisi, terdapat empat macam ketakwaan:
1. Wara at-Ta’biri – menghindar dari perbuatan-perbuatan terlarang.
2. Wara al-Shalihin – menghindar dari perbuatan-perbuatan yang belum jelas
terlarang atau tidak, agar terhindar dari suatu kemungkinan perbuatan haram.
3. Wara al-Muttaqin – menghindar dari perbuatan-perbuatan yang hanya sekedar
tidak dilarang saja agar benar-benar terhindar dari suatu kemungkinan perbuatan
haram.
4. Wara al-Shadiqin – menghindar dari segala perbuatan yang tidak ada kaitan
dengan perolehan faedah agama agar tidak menyia-nyiakan waktu yang sangat
berharga pada perbuatan-perbuatan yang tidak membawa manfaat, meskipun
kemungkinan tidak adanya resiko perbuatan haram pada hal yang bersangkutan.
Di sinilah menjadi jelas bagi kita bahwa walaupun tidak dinyatakan wajib,
melakukan ihtiyat (mawas diri) bukan saja kepada hal-hal yang belum jelas
terlarang atau tidak, tetapi juga terhadap hal-hal yang sekedar diperbolehkan
saja justru akan meningkatkan lagi kita menuju kepada ketakwaan (kesadaran akan
Allah SWT). Keuntungan dan manfaat dari ini secara fisik maupun spiritual bagi
kita tidak lagi dapat dihitung dan tidak juga ternilaikan. Maka selanjutnya
sebelum kita akan: menikmati lagi sebuah alunan lagu/musik (nasyid), membeli
sekantung permen (tanpa memikirkan komposisi asal gelatin hewani yang terkandung
didalamnya), menunda waktu shalat sampai dengan selesai terlebih dahulu semua
pekerjaan kita, langsung bergegas lari menuju ke restoran halal yang baru saja
buka hanya sekedar karena berita yang kami dengar bahwa restoran itu adalah
halal, akan sangat lebih baik jika kita mempertimbangkan hal-hal tersebut lebih
jauh sebelum melakukannya, mengejar manfaat dan keuntngan dari menghindar saja
hal-hal terlarang, berhati-hati dan mawas diri, dan meningkatkan perbuatan-
perbuatan diri kita lebih dari sekedar yang baik-baik saja dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Allah Swt telah menciptakan manusia sebagai yang paling sempurna dari semua
makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Apa sudah pantaskah kita disebut demikian? Pada
akhirnya, keputusan-keputusan yang kita ambil dalam rangka meperbaiki diri
merupakan pilihan-pilihan milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Apakah
sudah merupakan yang “terbaik” pilihan-pilihan yang kita ambil…? Sudahkah kita
mulai memilih hanya yang “terbaik” saja buat diri kita? Ataukah kita malah
merasa sudah cukup puas dengan tingkatan pada diri kita yang lebih rendah saja…?
Link : http://fajartimur.wordpress.com/
Kamis, 21 April 2011
Minggu, 17 April 2011
Ketaatan Sebagai Kemuliaan
Kiranya pantas manusia berpikir mengapa Tuhan memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk mentaati-Nya dan melarangnya untuk tidak bermaksiat. Mengapa perintah dan larangan terdapat pada firman Tuhan? Mengapa ketaatan kepada-Nya menyebabkan kebahagiaan dan bermaksiat kepada-Nya mendatangkan kemarahan-Nya dan penderitaan manusia. Persoalan ini harus dipahami dengan bersandar pada pengenalan Tuhan dan sifat-sifatnya, dan juga pengenal terhadap tujuan penciptaan dan pengadaan syariat agama. Jawaban global dari pertanyaan ini adalah bahwa perintah dan larangan Ilahi, baik yang wajib, mustahab, haram dan makruh merupakan lintasan kesempurnaan manusia. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor penyebab kesempurnaan manusia di pelataran dunia ini. Manusia dengan melewati lintasan tersebut dapat mencapai kesempurnaan dan mentransendental. Dengan demikian manfaat menuruti dan menjauhi, perintah-larangan Tuhan adalah untuk kesempurnaan manusia. Karena Tuhan tidak-membutuhkan dan mahakaya secara mutlak. Dia tidak mengeruk keuntungan dari perbuatan baik kita, dan tidak menderita kerugian dari keburukan kita. Tuhan berdasarkan rahmat dan faidh-Nya yang tak-terbatas, menyediakan seluruh faktor dan jalan untuk mentransendental dan menyempurnanya manusia. Bahkan ketika manusia dengan perbuatan tertentu yang menyebabkan kemurkaan-Nya, Tuhan menyediakan jalan untuk kembali kepada-Nya.
Pada hari keenam ini doa yang kita bacakan adalah berkenaan dengan kehinaan bermaksiat kepada Allah Swt, permohonan tidak dicemeti dengan cambuk amarah-Nya dan doa kiranya dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.
اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ
وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ
Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk amarah-Mu dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu. Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.
اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ
“Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu.”
Dalam frase doa ini kita meminta kepada Allah Swt supaya tidak terhinakan karena bermaksiat kepada-Nya. Bermaksiat kepada Allah Swt adalah menjatuhkan diri dalam kubangan kehinaan.
Sebagaimana taat kepada Tuhan mendatangkan kemuliaan dan kehormatan, maka bermaksiat kepada-Nya menuai kehinaan.
Barangkali seburuk-buruk kehinaan adalah terjerembab dalam kubangan maksiat. Berbuat dosa akan mengerdilkan jiwa manusia. Nilai keberadaannya dipertaruhkan. Fitrahnya yang suci dan bercahaya ternodai dan terkaburkan.
Alangkah malangnya orang yang mengetahui bahwa dengan melakukan perbuatan hina dan memalukan akan mendapat celaan dan cemoohan di hadapan manusia, namun tidak dapat mengetahui bahwa perbuatan hina dan memalukan bakalan mendapatkan celaan dan kutukan di hadapan Tuhan.
Abul Farj Isfahani, dalam kitab Maqati ath-Thâlibin, menukil dari Qasim bin Asbagh Nabatih bahwa: Aku melihat seseorang dari suku Bani Daram yang memiliki wajah yang menawan dan berkulit putih. Namun setelah peristiwa Karbala aku melihat wajahnya berubah menjadi hitam legam. Ketika kutanya: “Engkau adalah seorang yang memiliki wajah tampan dan berkulit putih, mengapa kini engkau hitam legam? Ia berkata: “Aku membunuh salah seorang pemuda yang menyertai Imam Husain As di Karbala. Seorang pemuda yang di keningnya terdapat tanda-tanda sujud. Semenjak hari itu, pemuda yang aku bunuh itu setiap malam datang dalam mimpiku. Ia menyeretku dan melemparkan aku ke jahannam. Karena sedemikian mengerikannya sehingga aku menjerit yang seluruh orang di kampung mendengar jeritanku.
Banyak kisah di dekat kita yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus, betapa kesalahan membuat depresi dan penyesalan berlarut-larut dalam kehidupan kita.
Iya, salah satu pengaruh perbuatan dosa adalah azab-derita nurani dan kehinaan dunia-akhirat. Bisikan nurani orang yang berbuat dosa senantiasa menderanya dengan cemeti rasa berdosa.
Imam Shadiq As bersabda: “Takutlah kalian dari akibat perbuatan dosa.” (Bihârul Anwâr, jil 75, hal. 437)
Imam Baqir As bersabda: “Tiada nestapa dan duka yang menimpa seorang hamba kecuali lantaran perbuatan dosa yang ia kerjakan. Namun lautan rahmat Tuhan amat luas.” (Qishar al-Jamal, jil. 1, hal. 232)
Disebutkan bahwa terdapat dua sebab membuat orang melakukan perbuatan dosa;
1. Pertama, karena kebodohan, jiwa lemah dan pikiran pendek yang membuat orang ternoda dengan perbuatan dosa. Oleh karena itu ia disebut sebagai pelaku maksiat.
2. Kedua, karena sengaja membangkang Tuhan semesta alam. Pedosa yang satu ini adalah orang yang tersesat dan menyesatkan. Karena pembangkangannya ini ia termasuk sebagai orang-orang yang tersesat. Orang yang sesat menentang Tuhan. Alih-alih mengamalkan hukum Tuhan, pedosa ini mengamalkan hukum yang sesuai dengan selera dan hawa nafsunya.
Berbuat dosa atau membangkang perintah Tuhan, mengikuti hawa nafsu, mau-tak-mau akan mengerjakan apa saja sehingga dapat menjalankan perintah nafsunya. Meski terjauhkan dari Tuhan, dan berbuat aniaya kepada manusia.
Titik seberang maksiat kepada Tuhan adalah ketaatan. Ketaatan kepada Tuhan adalah sebuah kehormatan dan kemuliaan. Berbuat dosa atau maksiat kepada-Nya adalah kehinaan.
Perbuatan dosa menjungkalkan kemanusiaan manusia, mendorong nilai keberadaannya ke arah jurang ketiadaan. Manusia dengan berbuat dosa fitrah suci dan nuraninya berontak. Membuatnya tertunduk malu di hadapan Sang Pencipta dan manusia.
Bermaksiat kepada Tuhan menghasilkan kehinaan sebagaimana ketaatan kepadanya mendatangkan kemuliaan.
Imam ‘Ali As bersabda: “Ilahi cukup kemuliaan bagiku bahwa Aku (ini) adalah hamba-Mu. Dan cukup bagiku kehormatan bahwa Engkau (itu) adalah Tuhanku.”
Kita berdoa kepada Allah Swt supaya tidak dihinakan dengan kelancangan bermaksiat kepada-Nya.
وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ
“Jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu“
Naqima secara leksikal bermakna mengingkari sesuatu, akibat dari sesuatu dan juga berarti sesuatu yang sangat tidak disukai (Qamus Qur’an, kata naqima). Salah satu sifat Tuhan adalah muntaqim (penuntut balas). Menuntut balas dari para tiran, durjana, kaum aniaya dan para pedosa yang selalu melupakan Tuhan. Dalam frase doa ini, pukulan-pukulan diumpakan dengan cambuk dan cemeti sebagai hukuman atas dosa yang dimaksudkan untuk mendidik para pedosa dan pelaku maksiat. Tentu Allah Swt tidak akan membiarkan para pedosa begitu saja. Mereka harus mencicipi akibat (hukuman) dari perbuatannya. Baik di dunia ini atau pun di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an kita bisa mengambil pelajaran dari kisah kaum Nuh, ‘Ad dan Tsamud karena kekufuran dan tidak bersyukurnya mereka kepada Tuhan menjadikan kemurkaan Tuhan tumpah ruah. Namun di samping sifat muntaqimnya Allah Swt adalah Mahakasih dan Mahasayang. Bahkan kasih-Nya melebihi murka-Nya. “Tuhanku, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu.”
Diriwayatkan dari Imam Shadiq bahwa Nabi Nuh As setelah tiga ratus tahun siang dan malam menyeru kaumnya kepada Tuhan, namun mereka tidak menyambut seruan ini. Nabi Nuh As memutuskan untuk mengutuk mereka. Para malaikat datang ke hadiratnya dan memohonnya untuk tidak mengutuk mereka. Kemudian beliau memberikan kesempatan kepada kaumnya selama tiga ratus tahun supaya mereka bertaubat dan menyembah Allah Swt. Setelah enam ratus tahun berlalu lagi kaumnya belum lagi beriman kepada Allah Swt dan kepadanya. Beliau kembali memutuskan untuk mengutuk mereka. Kembali malaikat datang menghadap Nabi Nuh As dan memohon kepadanya untuk tidak mengutuk mereka. Nabi Nuh As memberikan kesempatan tiga ratus tahun lagi kepada mereka untuk menyatakan keyakinan mereka. Akhirnya sembilan ratus tahun berlalu, hanya sedikit di antara mereka yang beriman. Lalu Nabi Nuh mengutuk kaumnya, kemudian turunlah ayat 11 dari surah Hud. “Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu, janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.”
Kemudian Nabi Nuh As mengutuk mereka dan bersabda: “Nuh berkata, “Ya Tuhan-ku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Karena jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (Qs. Nuh [71]:26-27)[1]
Demikianlah potret rahmat Tuhan yang tak-terbatas kepada para hamba-Nya. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya.
وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ
Dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu.
Dengan sedikit merenungi frase-frase doa hari keenam ini hubungan yang terjalin di antara frase tersebut akan menjadi jelas: Pertama ihwal kehinaan dosa, lalu cambuk kemarahan Tuhan dan pada akhirnya adalah ghadab (murka) Tuhan. Sejatinya dengan melakukan pembangkangan dan bermaksiat maka persoalan azab ini mengemuka dan hal ini merupakan ancaman serius bagi mereka. Artinya ketika manusia tidak terjerembab dengan pembangkangan dan perbuatan maksiat maka persoalan ini akan tertolak dengan sendirinya. Bukankah dengan melanggar perintah Tuhan menyebabkan kemurkaan Tuhan? Bukankah berbuat maksiat merupakan faktor pengundang murka Tuhan? Jadi dengan memperhatikan faktor-faktor ini akan menjauhkan diri kita dari murka Tuhan. Atas alasan ini seorang supaya terbebas dari kehinaan dan ancaman azab ini maka tiada jalan lain kecuali berlindung kepada Allah Swt. Dan memohon kepada-Nya untuk dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.
بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ
Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.
Keberadaan merupakan anugerah Tuhan. Dan seluruh nikmat Tuhan memenuhi segala keberadaan, oleh karena itu mengingatkan kepada anugerah dan nikmat Tuhan. Kekuasaan-Nya juga meliputi keberadaan. Tiada mungkin untuk lari dari kekuasaan Tuhan ini. “Wala yumkin an firar min hukumatik.” Demikian rintihan Imam ‘Ali dalam doa Kumail. Manusia seluruhnya bergerak mencari Tuhan, meski mereka mengejar harta, tahta dan wanita. Meski mereka mengejar kehidupan dan penghidupan mereka. Meski mencari yang lainnya, sejatinya mencari Tuhan. Mereka mencari kesempurnaan. Dan Engkau wahai Tuhanku adalah kesempurnaan mutlak. Engkaulah tambatan harapan segala harapan. Di penghujung doa hari ini, kita bermohon kepada Allah Swt dengan anugerah dan kekuasan-Nya untuk memudahkan hari yang kita lalui tanpa maksiat kepada-Nya, meski boleh-jadi mustahil bagi kita tanpa dosa namun berusahalah untuk menghindar. Berusahalah di hari ini mejadikan ketaatan sebagai kemuliaan, maksiat sebagai kehinaan. Mari kita tambatkan harapan pada-Nya untuk memudahkan kita melalui hari-hari penuh dengan ketaatan kepada-Nya.
Link : www.telagahikmah.org/ina
Pada hari keenam ini doa yang kita bacakan adalah berkenaan dengan kehinaan bermaksiat kepada Allah Swt, permohonan tidak dicemeti dengan cambuk amarah-Nya dan doa kiranya dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.
اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ
وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ
Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk amarah-Mu dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu. Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.
اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ
“Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu.”
Dalam frase doa ini kita meminta kepada Allah Swt supaya tidak terhinakan karena bermaksiat kepada-Nya. Bermaksiat kepada Allah Swt adalah menjatuhkan diri dalam kubangan kehinaan.
Sebagaimana taat kepada Tuhan mendatangkan kemuliaan dan kehormatan, maka bermaksiat kepada-Nya menuai kehinaan.
Barangkali seburuk-buruk kehinaan adalah terjerembab dalam kubangan maksiat. Berbuat dosa akan mengerdilkan jiwa manusia. Nilai keberadaannya dipertaruhkan. Fitrahnya yang suci dan bercahaya ternodai dan terkaburkan.
Alangkah malangnya orang yang mengetahui bahwa dengan melakukan perbuatan hina dan memalukan akan mendapat celaan dan cemoohan di hadapan manusia, namun tidak dapat mengetahui bahwa perbuatan hina dan memalukan bakalan mendapatkan celaan dan kutukan di hadapan Tuhan.
Abul Farj Isfahani, dalam kitab Maqati ath-Thâlibin, menukil dari Qasim bin Asbagh Nabatih bahwa: Aku melihat seseorang dari suku Bani Daram yang memiliki wajah yang menawan dan berkulit putih. Namun setelah peristiwa Karbala aku melihat wajahnya berubah menjadi hitam legam. Ketika kutanya: “Engkau adalah seorang yang memiliki wajah tampan dan berkulit putih, mengapa kini engkau hitam legam? Ia berkata: “Aku membunuh salah seorang pemuda yang menyertai Imam Husain As di Karbala. Seorang pemuda yang di keningnya terdapat tanda-tanda sujud. Semenjak hari itu, pemuda yang aku bunuh itu setiap malam datang dalam mimpiku. Ia menyeretku dan melemparkan aku ke jahannam. Karena sedemikian mengerikannya sehingga aku menjerit yang seluruh orang di kampung mendengar jeritanku.
Banyak kisah di dekat kita yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus, betapa kesalahan membuat depresi dan penyesalan berlarut-larut dalam kehidupan kita.
Iya, salah satu pengaruh perbuatan dosa adalah azab-derita nurani dan kehinaan dunia-akhirat. Bisikan nurani orang yang berbuat dosa senantiasa menderanya dengan cemeti rasa berdosa.
Imam Shadiq As bersabda: “Takutlah kalian dari akibat perbuatan dosa.” (Bihârul Anwâr, jil 75, hal. 437)
Imam Baqir As bersabda: “Tiada nestapa dan duka yang menimpa seorang hamba kecuali lantaran perbuatan dosa yang ia kerjakan. Namun lautan rahmat Tuhan amat luas.” (Qishar al-Jamal, jil. 1, hal. 232)
Disebutkan bahwa terdapat dua sebab membuat orang melakukan perbuatan dosa;
1. Pertama, karena kebodohan, jiwa lemah dan pikiran pendek yang membuat orang ternoda dengan perbuatan dosa. Oleh karena itu ia disebut sebagai pelaku maksiat.
2. Kedua, karena sengaja membangkang Tuhan semesta alam. Pedosa yang satu ini adalah orang yang tersesat dan menyesatkan. Karena pembangkangannya ini ia termasuk sebagai orang-orang yang tersesat. Orang yang sesat menentang Tuhan. Alih-alih mengamalkan hukum Tuhan, pedosa ini mengamalkan hukum yang sesuai dengan selera dan hawa nafsunya.
Berbuat dosa atau membangkang perintah Tuhan, mengikuti hawa nafsu, mau-tak-mau akan mengerjakan apa saja sehingga dapat menjalankan perintah nafsunya. Meski terjauhkan dari Tuhan, dan berbuat aniaya kepada manusia.
Titik seberang maksiat kepada Tuhan adalah ketaatan. Ketaatan kepada Tuhan adalah sebuah kehormatan dan kemuliaan. Berbuat dosa atau maksiat kepada-Nya adalah kehinaan.
Perbuatan dosa menjungkalkan kemanusiaan manusia, mendorong nilai keberadaannya ke arah jurang ketiadaan. Manusia dengan berbuat dosa fitrah suci dan nuraninya berontak. Membuatnya tertunduk malu di hadapan Sang Pencipta dan manusia.
Bermaksiat kepada Tuhan menghasilkan kehinaan sebagaimana ketaatan kepadanya mendatangkan kemuliaan.
Imam ‘Ali As bersabda: “Ilahi cukup kemuliaan bagiku bahwa Aku (ini) adalah hamba-Mu. Dan cukup bagiku kehormatan bahwa Engkau (itu) adalah Tuhanku.”
Kita berdoa kepada Allah Swt supaya tidak dihinakan dengan kelancangan bermaksiat kepada-Nya.
وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ
“Jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu“
Naqima secara leksikal bermakna mengingkari sesuatu, akibat dari sesuatu dan juga berarti sesuatu yang sangat tidak disukai (Qamus Qur’an, kata naqima). Salah satu sifat Tuhan adalah muntaqim (penuntut balas). Menuntut balas dari para tiran, durjana, kaum aniaya dan para pedosa yang selalu melupakan Tuhan. Dalam frase doa ini, pukulan-pukulan diumpakan dengan cambuk dan cemeti sebagai hukuman atas dosa yang dimaksudkan untuk mendidik para pedosa dan pelaku maksiat. Tentu Allah Swt tidak akan membiarkan para pedosa begitu saja. Mereka harus mencicipi akibat (hukuman) dari perbuatannya. Baik di dunia ini atau pun di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an kita bisa mengambil pelajaran dari kisah kaum Nuh, ‘Ad dan Tsamud karena kekufuran dan tidak bersyukurnya mereka kepada Tuhan menjadikan kemurkaan Tuhan tumpah ruah. Namun di samping sifat muntaqimnya Allah Swt adalah Mahakasih dan Mahasayang. Bahkan kasih-Nya melebihi murka-Nya. “Tuhanku, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu.”
Diriwayatkan dari Imam Shadiq bahwa Nabi Nuh As setelah tiga ratus tahun siang dan malam menyeru kaumnya kepada Tuhan, namun mereka tidak menyambut seruan ini. Nabi Nuh As memutuskan untuk mengutuk mereka. Para malaikat datang ke hadiratnya dan memohonnya untuk tidak mengutuk mereka. Kemudian beliau memberikan kesempatan kepada kaumnya selama tiga ratus tahun supaya mereka bertaubat dan menyembah Allah Swt. Setelah enam ratus tahun berlalu lagi kaumnya belum lagi beriman kepada Allah Swt dan kepadanya. Beliau kembali memutuskan untuk mengutuk mereka. Kembali malaikat datang menghadap Nabi Nuh As dan memohon kepadanya untuk tidak mengutuk mereka. Nabi Nuh As memberikan kesempatan tiga ratus tahun lagi kepada mereka untuk menyatakan keyakinan mereka. Akhirnya sembilan ratus tahun berlalu, hanya sedikit di antara mereka yang beriman. Lalu Nabi Nuh mengutuk kaumnya, kemudian turunlah ayat 11 dari surah Hud. “Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu, janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.”
Kemudian Nabi Nuh As mengutuk mereka dan bersabda: “Nuh berkata, “Ya Tuhan-ku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Karena jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (Qs. Nuh [71]:26-27)[1]
Demikianlah potret rahmat Tuhan yang tak-terbatas kepada para hamba-Nya. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya.
وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ
Dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu.
Dengan sedikit merenungi frase-frase doa hari keenam ini hubungan yang terjalin di antara frase tersebut akan menjadi jelas: Pertama ihwal kehinaan dosa, lalu cambuk kemarahan Tuhan dan pada akhirnya adalah ghadab (murka) Tuhan. Sejatinya dengan melakukan pembangkangan dan bermaksiat maka persoalan azab ini mengemuka dan hal ini merupakan ancaman serius bagi mereka. Artinya ketika manusia tidak terjerembab dengan pembangkangan dan perbuatan maksiat maka persoalan ini akan tertolak dengan sendirinya. Bukankah dengan melanggar perintah Tuhan menyebabkan kemurkaan Tuhan? Bukankah berbuat maksiat merupakan faktor pengundang murka Tuhan? Jadi dengan memperhatikan faktor-faktor ini akan menjauhkan diri kita dari murka Tuhan. Atas alasan ini seorang supaya terbebas dari kehinaan dan ancaman azab ini maka tiada jalan lain kecuali berlindung kepada Allah Swt. Dan memohon kepada-Nya untuk dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.
بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ
Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.
Keberadaan merupakan anugerah Tuhan. Dan seluruh nikmat Tuhan memenuhi segala keberadaan, oleh karena itu mengingatkan kepada anugerah dan nikmat Tuhan. Kekuasaan-Nya juga meliputi keberadaan. Tiada mungkin untuk lari dari kekuasaan Tuhan ini. “Wala yumkin an firar min hukumatik.” Demikian rintihan Imam ‘Ali dalam doa Kumail. Manusia seluruhnya bergerak mencari Tuhan, meski mereka mengejar harta, tahta dan wanita. Meski mereka mengejar kehidupan dan penghidupan mereka. Meski mencari yang lainnya, sejatinya mencari Tuhan. Mereka mencari kesempurnaan. Dan Engkau wahai Tuhanku adalah kesempurnaan mutlak. Engkaulah tambatan harapan segala harapan. Di penghujung doa hari ini, kita bermohon kepada Allah Swt dengan anugerah dan kekuasan-Nya untuk memudahkan hari yang kita lalui tanpa maksiat kepada-Nya, meski boleh-jadi mustahil bagi kita tanpa dosa namun berusahalah untuk menghindar. Berusahalah di hari ini mejadikan ketaatan sebagai kemuliaan, maksiat sebagai kehinaan. Mari kita tambatkan harapan pada-Nya untuk memudahkan kita melalui hari-hari penuh dengan ketaatan kepada-Nya.
Link : www.telagahikmah.org/ina
Jumat, 08 April 2011
JENJANG - JENJANG SPIRITUAL
JENJANG - JENJANG SPIRITUAL
Sebuah Pengantar Tentang Irfan
Seperti yang sudah saya jelaskan atau mungkin belum, bahwa setiap disiplin ilmu itu mempunyai istilah-istilah tersendiri yang mereka gunakan untuk mempermudah orang-orang yang akan atau sedang mendalami ilmu tersebut.
Dalam kajian tentang ‘irfan atau tasawuf juga ada beberapa istilah tasawuf yang mesti diketahui oleh orang yang ingin mempelajari tasawuf. Meskipun mengetahui istilah tidak berarti telah menguasai atau mengalami irfan.
Saya akan keluar sedikit dari tema pembicaraan. Pernah menantu Imam Khomeini bernama Sayyidah Fatimah Thabathaba’i - kalau tidak salah, dia seorang doktor dan dosen di sebuah Universitas Teheran - meminta kepada Imam Khomeini sebagai mertuanya, untuk mengajarkan filsafat. Imam Khomeini menjawab dengan sebuah syair berbahasa Persia yang intinya, bahwa yang sekarang kamu ketahui ini, wahai Fatimah, adalah : fa, lam, sin, fa, ta saja (maksudnya falsafah). Jadi Anda hanya baru mengetahui kulit atau istilah-istilah filsafat saja. Anda belum memahami inti dari filsafat.
Dalam ‘irfan atau tasawuf; ada istilah-istilah yang digunakan untuk menjelaskan latihan-latihan ( riyadhah ) dan pengalaman-pengalaman spritual. Seseorang bisa saja menguasai istilah-istilah ‘irfan dan tasawuf tetapi belum tentu dia mengalami dan menjalankan riyadhah. Atau dengan kata lain, ada orang yang ahli tentang ‘irfan dan ada pula orang ‘arif atau shufi. Perbedaan ini muncul, diantaranya, karena istilah merupakan bagian dari ilmu hushuli sedangkan pengalaman-pengalaman spiritual adalah ilmu hudhuri. Syeikh Taqi Misbah Yazdi dalam menjelaskan kedua macam ilmu ini mengatakan, bahwa ilmu hushuli adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui media atau perantara. Sedangkan ilmu hudhuri adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui media dan perantara. Meskipun demikian, bukan berarti istilah tidak diperlukan. Istilah perlu diketahui guna mempermudah penyampaian tentang sebuah ilmu pengetahuan, khususnya masalah Tasawuf. Al-Qusyairi, seorang tokoh sufi, dalam bukunya Risalah Al-Qusyairiyyah – sebuah buku yang menjadi referensi atau rujukan para sufi, baik Sunnah atau Syi’ah – mencantumkan istilah-istilah yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang yang belajar secara khusus tentang tasawuf. Ketika ditanya, Mengapa demikian ? Dia menjawab,”Saya sengaja sebutkan istilah-istilah ini supaya tasawuf itu tidak menjadi buku kacangan atau buku bacaan pengantar tidur.”. Oleh karenanya beliau sengaja menaruh istilah-istilah yang sulit supaya tidak semua orang membacanya dengan sendiri. Mesti ada seseorang yang menjadi pembimbing dalam memahami istilah-istilah tersebut, atau, paling tidak, seorang yang hendak membaca irfan, hendaknya memiliki dasar-dasar irfan dan filsafat yang cukup.
Saya kira dalam semua disiplin ilmu juga seperti itu. Dalam ilmu kedokteran misalnya, ada istilah-istilah yang mereka gunakan yang tidak dipahami oleh kalangan luar mereka. Saya sebagai orang awam tentang kedokteran, tidak mengerti istilah-istilah kedokteran itu. Itu adalah hal yang wajar. Mereka, para dokter saja yang memahami istilah-istilah itu. Atau Anda yang berkecimpung di dunia tekhnik misalnya, juga memahami istilah-istilah tekhnik. Sangatlah wajar kalau saya tidak memahami istilah-istilah tersebut. Demikian pula halnya dengan tasawuf. Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu mempunyai terminologi atau istilah yang khusus diketahui oleh orang-orang yang belajar tentang itu saja.
Maqaamat dan Ahwaal
Ala kulli hal, secara umum ada dua istilah yang beredar di kalangan urafa, yaitu maqaamat dan ahwal. Maqaamat ( bentuk jamak dari maqam )adalah jenjang-jenjang atau tahapan-tahapan spritual. Ahwal atau hal-hal adalah keadaan spritual yang dialami pesuluk . Dua istilah ini cukup populer di kalangan mereka. Dalam hampir semua kitab irfan dan tasawuf, mereka menjelaskan tentang maqam-maqam dan hal-hal. Meskipun dalam penjelasannya berbeda-beda, tetapi intinya sama. Boleh jadi perbedaan itu karena, mungkin, pengalaman-pengalaman mereka yang tidak sama atau perbedaan itu muncul karena perbedaan dalam mengungkapkan pengalaman spiritual mereka ketika berjumpa (liqa') dengan Allah Ta’ala.. Mereka benar semuanya selagi tidak keluar dari koridor syariat. Apa itu maqaamaat dan apa itu ahwal atau hal-hal ? Disebutkan dalam kitab Manaazil al Saairiin, bahwa maqaamaat adalah tahapan-tahapan, atau, disebut juga, manazil yakni jenjang-jenjang spiritual yang dilalui seorang pesuluk menuju Allah. Seorang pesuluk ketika sampai ke satu jenjang, dia berhenti sejenak atau beberapa waktu sambil ber-mujahadah dalam jenjang tersebut, sampai sekiranya Allah SWT mempersiapkan untuknya jalan untuk mencapai jenjang yang kedua dan jenjang berikutnya. Itulah definisi maqam, yaitu jenjang atau tahapan yang dilalui oleh seorang pesuluk. Ber-mujahadahpada setiap jenjang spritual artinya dia bersungguh-sungguh membersihkan hati, mengontrol jiwa, agar tidak terjerumus dalam kehancuran, dan agar tidak turun kembali dari jenjang yang sudah dilalui. Kemudian setelah dia istiqomah dalam bermujahadah, Allah mempersiapkan baginya untuk mencapai maqam berikutnya atau jenjang berikutnya. Dia terus ber-mi'raj dan menaik dari satu maqam yang mulia ke maqam yang lebih mulia. Tsumma dana fatadalla fakaana qooba qawsaini aw adna.
Sebagai contoh, ada yang dinamakan maqam taubat . Taubat merupakan sebuah tahapan. Untuk sampai pada maqam ini tidak sekedar mengucapkan astaghfirullah saja, tetapi seorang pesuluk harus meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan. Juga berada pada maqam ini perlu beberapa waktu dalam keadaan tidak bebrbuat dosa dan kemaksiatan. Bertaubat sejenak atau beberapa saat saja, misalnya menyesali dosa dan kemaksiatan dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi pada malam al qadar, lalu hari esoknya itu kembali berbuat dosa, hal demikian tidak menjadikan dia masuk ke maqam taubat.. Maqam taubat di sini adalah menjaga diri dari berbuat dosa setelah menyesalai dan meninggalkannya untuk sekian waktu. Untuk berapa lama ? Saya tidak paham.
Kemudian setelah dia istiqomah dalam taubat, Allah swt. mempersipkan baginya untuk menaik ke maqam berikutnya, maqam wara’ misalnya. Pada maqam ini juga dia harus istiqomah dengan wara' untuk tempo tertentu.. Tidak sehari atau dua hari tentunya. Setelah itu, Allah mempersiapkan ke maqam berikutnya, maqam az-Zuhud, misalnya dan seterusnya.
Jadi dalam perpindahan dari satu maqam atau tahapan ke tahapan yang lain itu perlu waktu, tidak sebentar, karena yang penting yang penting dalam bersuluk adalah istiqamah. Di sini saya tertarik dengan ungkapan dalam buku ini ( Manaazil al Saairin -ed), “ sehingga Allah mempersiapkan ”. Allah swt. yang mempersiapkan. Bukan si pesuluk atau siapapun, tetapi Allah yang mempersiapkan. Allah yang mengangkat dia ke maqam berikutnya. Allah yang memberi satu maqam kepadanya bukan dia yang mencari maqam. Jadi perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain, secara otomatis atau, sifatnya alami. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang langsung ke maqam wara’ sebelum melewati maqam taubat. Tadi saya katakan, " Allah yang mempersiapkan bukan siapapun selainnya ". Jadi yang menentukan dia pindah ke maqam wara’, siapa yang menentukan ? Allah SWT. Bukan si pesuluk tapi Allah Ta’ala yang menentukan. Itulah artinya maqam-maqam atau jenjang-jenjang spiritual.
Adapun ahwal atau hal-hal adalah hembusan-hembusan spiritual yang dihirup oleh seorang pesuluk, sehingga jiwa si pesuluk mendapatkan kesegaran ketika menghirup hembusan-hembusan spritual Ilahi (nasamaat ruhiyyah) tersebut. Hembusan ini tidak lama. Ia akan berlalu dan pergi hilang. Jiwa pesuluk terus mendambakan kembalinya hembusan Ilahi. Ahwal sifatnya sementara dan sejenak. Salah satu bentuk ahwal ialah, apa yang mereka sebut, Al-‘Unus billah. ‘Unus itu artinya perasaan asyik, artinya ber-asyik-ma'syuk dengan Allah swt. Misalnya, ketika dia shalat, dia merasakan kenikmatan shalat. Dalam berdoa merasa kenikmatan.. Mungkin kita pun pernah mengalami hal demikian, tentu dengan kadar yang berbeda, meskipun kita belum bersuluk. Allah kadang-kadang memberi kepada kita hembusanNya sehingga kita menikmati ibadah dengan khusyu, senang, namun hilang lagi. Untuk mencoba seperti itu lagi tidak bisa. Imam Ali as. pernah mengatakan, “Ketahuilah bahwa Allah mempunyai hembusan di hari-harimu.” Artinya di hari-hari kita ini, Allah memberikan hembusan kepada kita.
Contoh lain dari ahwal adalah mukasyafah atau kasyaf. Sewaktu-waktu Allah bukakan kepada seorang pesuluk tabir sehingga dia mengetahui haqiqat segala sesuatu. Penglihatannya menembus dimensi-dimensi materi. Mukasyafah juga sifatnya insidental, sejenak dan temporer. Ahwal tidak dicari tapi Allah yang memberinya kepada seorang pesuluk dan tidak datang sekehendak pesuluk.
Al-Junaid, salah seorang ‘arif mengatakan, “Hal adalah datang ke hati tapi tidak kekal, ia akan hilang.” Sebentar ia datang kemudian hilang lagi. Ahwal ini datang kepada seseorang yang sedang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Abu Nashr Al-Thusi menjelaskan bahwa maqaamaat ruuhiyyah, seperti, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridha, tawakal dan yang lainnya adalah jenjang-jenjang pesuluk. Kemudian dia meneruskan, "Adapun ahwal adalah sesuatu yang datang ke dalam hati karena kesucian zikir dan tidak lama, sebentar saja. Hal diperoleh bukan melalui mujahadah atau ibadah. Tidak seperti maqam yang diperoleh dengan mujahadah. Hal datang secara tiba-tiba. Tiba-tiba seorang pesuluk merindukan Allah, menangis, khusyu, musyahadah.
Maqam Yaqadzah
Urafa mengatakan bahwa maqam pertama adalah yaqazhah, kesadaran, bangun atau keterjagaan. Jadi maqam pertama adalah yaqazhah, sadar atau dia jaga, tidak lengah. Yaqazhah lawan dari ghaflah (kelengahan) Yaqazhah sadar atau terjaga dari kelengahan spiritual. Dia sadar bahwa dia itu diciptakan oleh Allah Ta’ala, bahwa dia di sini untuk menyembah Allah. Ghaflah di sini artinya ghaflah dari Allah karena hanya memikirkan dunia saja, memikirkan materi sehingga lengah dan lupa kepada Allah SWT. Ghaflah adalah penyakit ruhani yang besar. Allah berfirman : “Mereka melupakan Allah (mereka ghaflah kepada Allah), maka Allah lupakan mereka.
Seorang ketika lupa kepada Allah, dia berada pada titik bahaya. Sebagai akibatnya, dia akan melupakan dirinya sendiri dan melupakan segalanya sehingga jauh dari kebenaran. Itulah ghaflah sebagai lawan dari yaqazhah.
Jadi tahap pertama, yaqazhah artinya bangkit dari tidur, dari kelengahan. Para ‘urafai mengawali kitab-kitabnya dengan menyebutkan masalah yaqazhah, masalah kesadaran. Kesadaran atau keterjagaan modal pertama, karena tanpa ini orang tidak mungkin melanjutkan perjalanan spiritualnya kepada Allah SWT. Perjalanan menuju Allah swt harus dimulai dengan sadar.. Sekarang bagaimana agar kita ini yaqazhah ? Ada tiga cara agar kita masuk ke maqam pertama, yaqazhah.
Pertama, memperhatikan atau menyadari nikmat atau kenikmatan-kenikmatan Allah SWT. Memperhatikan atau menyadari karunia-karunia Allah SWT yang begitu besar dan banyak sehingga timbul kesadaran bahwa dia tidak mampu mensyukuri karunia-karunia Allah SWT. Dia sadar bahwa begitu banyak karunia Tuhan dan dia pun sadar bahwa dia tidak mampu mensyukuri semua kenikmatan dari Allah SWT. Sadar akan ketidak berdayaan mensyukuri nikmat Allah adalah modal perjalanan menuju Allah Swt.
Allah SWT berfirman : "Kalau kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan mampu menghitungnya.” Seseorang yang akan sampai ke maqam pertama, maqam yaqazhah, dia harus tahu betapa banyaknya nikmat Tuhan sehingga dia mengakui bahwa dia tidak bisa mensyukurinya. Kesadaran bahwa dia tidak berdaya dalam mensyukuri nikmat Tuhan itulah cara yang pertama untuk yaqazhah. Sebaliknya orang yang merasa mampu dan berdaya adalah awal petaka seorang manusia. Allah berfirman :“Sesungguhnya manusia itu akan berbuat taghut, berbuat zalim, berbuat kesalahan, ketika melihat dirinya cukup.”. Saya hebat, saya mampu ", ketika merasa dirinya cukup dan tidak menyadari karunia-karunia karunia Allah, maka itulah awal pertama seseorang menjadi zalim, orang yang ghaflah.
Jadi, agar sampai ke maqam yaqazhah seorang pesuluk harus belajar menyadari dan belajar mengetahui betapa banyaknya karunia Allah SWT. Betapa banyaknya kebaikan Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita. Karunia Allah bermacam-macam, tidak hanya berbentuk materi. Namun kebanyakan manusia itu mengukur nikmat dengan materi. Dia bersyukur ketika mendapatkan dapat rezeki, ketika tidak mendapatkan rezeki, tidak bersyukur. Padahal siapa tahu ketika dia tidak mendapat rezeki, dia malah lebih khusyu ibadahnya. Kenikmatan Allah sering dianggap hanya berbentuk materi. Kenikmatan yang berbentuk spiritual tidak dianggap kenikmatan. Kenikmatan dari Allah bisa berbentuk materi dan non-materi..
Ketika orang ingin sampai ke maqam yaqazhah, harus menyadari bahwa begitu banyak karunia Allah Ta’ala yang luas. Tidak hanya berbentuk materi tapi juga non materi. Coba kita bayangkan masalah syukur. Tatkala seseorang bersyukur kepada Allah Ta’ala, menyadari begitu banyaknya karunia Allah Ta’ala dan dia sadar bahwa dia tidak mampu menghitungnya, akhirnya bersyukur alhamdulillah. Syukur ini bisa kita ungkapkan lewat ucapan, dan itu yang minimal, dan bisa juga dengan tindakan..
Kedua, untuk sampai ke maqam yaqazhah adalah mempelajari dosa-dosa, mempelajari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan menyadari tentang bahaya dari dosa. Artinya mengetahui perbuatan-perbuatan yang tidak baik, apa saja hal-hal yang bisa memperkeruh hati, apa akibat dari perbuatan. Setiap yang kita lakukan itu ada akibatnya, apapun juga, kebaikan atau kejahatan. Jadi dosa yang kita kerjakan itu bisa melahirkan satu akibat.Kita mesti mempelajari dosa-dosa dan apa akibat yang akan muncul dari dosa tersebut. Dalam doa Kumail ada kalimat : “Ya Allah ampunilah dosa-dosa yang merobek-robek keterjagaan.",Ampunilah dosa-dosa yang menyebabkan turunnya bala", " Ampunilahdosa-dosa yang menghalangi doa ".
Kita tidak khusyu dalam ibadah, bisa jadi akibat dosa. Orang yang makan khumus dan orang yang tidak mengeluarkan khumus tidak akan khusyu ibadahnya. Allah akan menarik kekhusyuan dari orang yang makan khumus atau tidak mengeluarkan khumus. Orang yang tidak shalat apa akibatnya ?, orang yang tidak zakat apa akibatnya?, orang yang berbuat kemaksiatan apa akibatnya?. Semua itu mesti dipelajari sehingga timbul yaqadzah. Kemudian setelah mengetahui dosa-dosa, kita mengencangkan langkah kita untuk meninggalkan dosa. Melepaskan dari ikatan-ikatan dosa dan minta kepada Allah agar diselamatkan dari dosa. Ini adalah cara kedua untuk yaqazhah.
Seorang sahabat Nabi saww. bernama Abu Hudzaifah Al-Yamani yang digelari sebagai shahibul sirr Nabi atau pemilik rahasia Nabi, yang mengetahui rahasia-rahasia Nabi.Dia mengetahui siapa sahabat-sahabat Nabi yang munafik. Setelah Nabi saww. wafat, salah seorang sahabat yang terkenal kebesarannya bertanya, “Sebutkan, apakah saya termasuk yang munafik atau tidak?”. "Abu Hudzaifah tidak menjawab karena Nabi mewasiatkan untuk tidak membuka rahasia. Setelah Nabi meninggal, dia pengikut Imam Ali as. yang setia. Dia mengatakan, dalam riwayat yang populer di kalangan Sunnah dan Syi’ah, "Saya bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang tidak baik, tentang dosa-dosa. Aku menanyakan hal ini kepada Nabi agar aku bisa menghindarinya atau meninggalkannya ".Mempelajari dosa bukan untuk melakukannya tapi untuk menghindarinya. Hal itu dilakukan agar sampai ke maqam yaqazhah.
Kemudian cara yang Ketiga, adalah memperhatikan ibadah-ibadah yang sudah kita lakukan dan ibadah-ibadah yang kita tinggalkan di hari-hari yang lalu. Mengadakan evaluasi tentang amal ibadah kita. Evaluasi ini dilakukan setiap hari bukan setahun sekali.[]
____________
Ceramah Ustadz Husein Alkaff dalam paket kajian tentang 'irfan di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad. Ditranskrip oleh: Donny Somadijaya, SH.
Sumber : http://aljawad.tripod.com/buletinew/edisi_ke_4.htm
Sebuah Pengantar Tentang Irfan
Seperti yang sudah saya jelaskan atau mungkin belum, bahwa setiap disiplin ilmu itu mempunyai istilah-istilah tersendiri yang mereka gunakan untuk mempermudah orang-orang yang akan atau sedang mendalami ilmu tersebut.
Dalam kajian tentang ‘irfan atau tasawuf juga ada beberapa istilah tasawuf yang mesti diketahui oleh orang yang ingin mempelajari tasawuf. Meskipun mengetahui istilah tidak berarti telah menguasai atau mengalami irfan.
Saya akan keluar sedikit dari tema pembicaraan. Pernah menantu Imam Khomeini bernama Sayyidah Fatimah Thabathaba’i - kalau tidak salah, dia seorang doktor dan dosen di sebuah Universitas Teheran - meminta kepada Imam Khomeini sebagai mertuanya, untuk mengajarkan filsafat. Imam Khomeini menjawab dengan sebuah syair berbahasa Persia yang intinya, bahwa yang sekarang kamu ketahui ini, wahai Fatimah, adalah : fa, lam, sin, fa, ta saja (maksudnya falsafah). Jadi Anda hanya baru mengetahui kulit atau istilah-istilah filsafat saja. Anda belum memahami inti dari filsafat.
Dalam ‘irfan atau tasawuf; ada istilah-istilah yang digunakan untuk menjelaskan latihan-latihan ( riyadhah ) dan pengalaman-pengalaman spritual. Seseorang bisa saja menguasai istilah-istilah ‘irfan dan tasawuf tetapi belum tentu dia mengalami dan menjalankan riyadhah. Atau dengan kata lain, ada orang yang ahli tentang ‘irfan dan ada pula orang ‘arif atau shufi. Perbedaan ini muncul, diantaranya, karena istilah merupakan bagian dari ilmu hushuli sedangkan pengalaman-pengalaman spiritual adalah ilmu hudhuri. Syeikh Taqi Misbah Yazdi dalam menjelaskan kedua macam ilmu ini mengatakan, bahwa ilmu hushuli adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui media atau perantara. Sedangkan ilmu hudhuri adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui media dan perantara. Meskipun demikian, bukan berarti istilah tidak diperlukan. Istilah perlu diketahui guna mempermudah penyampaian tentang sebuah ilmu pengetahuan, khususnya masalah Tasawuf. Al-Qusyairi, seorang tokoh sufi, dalam bukunya Risalah Al-Qusyairiyyah – sebuah buku yang menjadi referensi atau rujukan para sufi, baik Sunnah atau Syi’ah – mencantumkan istilah-istilah yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang yang belajar secara khusus tentang tasawuf. Ketika ditanya, Mengapa demikian ? Dia menjawab,”Saya sengaja sebutkan istilah-istilah ini supaya tasawuf itu tidak menjadi buku kacangan atau buku bacaan pengantar tidur.”. Oleh karenanya beliau sengaja menaruh istilah-istilah yang sulit supaya tidak semua orang membacanya dengan sendiri. Mesti ada seseorang yang menjadi pembimbing dalam memahami istilah-istilah tersebut, atau, paling tidak, seorang yang hendak membaca irfan, hendaknya memiliki dasar-dasar irfan dan filsafat yang cukup.
Saya kira dalam semua disiplin ilmu juga seperti itu. Dalam ilmu kedokteran misalnya, ada istilah-istilah yang mereka gunakan yang tidak dipahami oleh kalangan luar mereka. Saya sebagai orang awam tentang kedokteran, tidak mengerti istilah-istilah kedokteran itu. Itu adalah hal yang wajar. Mereka, para dokter saja yang memahami istilah-istilah itu. Atau Anda yang berkecimpung di dunia tekhnik misalnya, juga memahami istilah-istilah tekhnik. Sangatlah wajar kalau saya tidak memahami istilah-istilah tersebut. Demikian pula halnya dengan tasawuf. Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu mempunyai terminologi atau istilah yang khusus diketahui oleh orang-orang yang belajar tentang itu saja.
Maqaamat dan Ahwaal
Ala kulli hal, secara umum ada dua istilah yang beredar di kalangan urafa, yaitu maqaamat dan ahwal. Maqaamat ( bentuk jamak dari maqam )adalah jenjang-jenjang atau tahapan-tahapan spritual. Ahwal atau hal-hal adalah keadaan spritual yang dialami pesuluk . Dua istilah ini cukup populer di kalangan mereka. Dalam hampir semua kitab irfan dan tasawuf, mereka menjelaskan tentang maqam-maqam dan hal-hal. Meskipun dalam penjelasannya berbeda-beda, tetapi intinya sama. Boleh jadi perbedaan itu karena, mungkin, pengalaman-pengalaman mereka yang tidak sama atau perbedaan itu muncul karena perbedaan dalam mengungkapkan pengalaman spiritual mereka ketika berjumpa (liqa') dengan Allah Ta’ala.. Mereka benar semuanya selagi tidak keluar dari koridor syariat. Apa itu maqaamaat dan apa itu ahwal atau hal-hal ? Disebutkan dalam kitab Manaazil al Saairiin, bahwa maqaamaat adalah tahapan-tahapan, atau, disebut juga, manazil yakni jenjang-jenjang spiritual yang dilalui seorang pesuluk menuju Allah. Seorang pesuluk ketika sampai ke satu jenjang, dia berhenti sejenak atau beberapa waktu sambil ber-mujahadah dalam jenjang tersebut, sampai sekiranya Allah SWT mempersiapkan untuknya jalan untuk mencapai jenjang yang kedua dan jenjang berikutnya. Itulah definisi maqam, yaitu jenjang atau tahapan yang dilalui oleh seorang pesuluk. Ber-mujahadahpada setiap jenjang spritual artinya dia bersungguh-sungguh membersihkan hati, mengontrol jiwa, agar tidak terjerumus dalam kehancuran, dan agar tidak turun kembali dari jenjang yang sudah dilalui. Kemudian setelah dia istiqomah dalam bermujahadah, Allah mempersiapkan baginya untuk mencapai maqam berikutnya atau jenjang berikutnya. Dia terus ber-mi'raj dan menaik dari satu maqam yang mulia ke maqam yang lebih mulia. Tsumma dana fatadalla fakaana qooba qawsaini aw adna.
Sebagai contoh, ada yang dinamakan maqam taubat . Taubat merupakan sebuah tahapan. Untuk sampai pada maqam ini tidak sekedar mengucapkan astaghfirullah saja, tetapi seorang pesuluk harus meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan. Juga berada pada maqam ini perlu beberapa waktu dalam keadaan tidak bebrbuat dosa dan kemaksiatan. Bertaubat sejenak atau beberapa saat saja, misalnya menyesali dosa dan kemaksiatan dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi pada malam al qadar, lalu hari esoknya itu kembali berbuat dosa, hal demikian tidak menjadikan dia masuk ke maqam taubat.. Maqam taubat di sini adalah menjaga diri dari berbuat dosa setelah menyesalai dan meninggalkannya untuk sekian waktu. Untuk berapa lama ? Saya tidak paham.
Kemudian setelah dia istiqomah dalam taubat, Allah swt. mempersipkan baginya untuk menaik ke maqam berikutnya, maqam wara’ misalnya. Pada maqam ini juga dia harus istiqomah dengan wara' untuk tempo tertentu.. Tidak sehari atau dua hari tentunya. Setelah itu, Allah mempersiapkan ke maqam berikutnya, maqam az-Zuhud, misalnya dan seterusnya.
Jadi dalam perpindahan dari satu maqam atau tahapan ke tahapan yang lain itu perlu waktu, tidak sebentar, karena yang penting yang penting dalam bersuluk adalah istiqamah. Di sini saya tertarik dengan ungkapan dalam buku ini ( Manaazil al Saairin -ed), “ sehingga Allah mempersiapkan ”. Allah swt. yang mempersiapkan. Bukan si pesuluk atau siapapun, tetapi Allah yang mempersiapkan. Allah yang mengangkat dia ke maqam berikutnya. Allah yang memberi satu maqam kepadanya bukan dia yang mencari maqam. Jadi perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain, secara otomatis atau, sifatnya alami. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang langsung ke maqam wara’ sebelum melewati maqam taubat. Tadi saya katakan, " Allah yang mempersiapkan bukan siapapun selainnya ". Jadi yang menentukan dia pindah ke maqam wara’, siapa yang menentukan ? Allah SWT. Bukan si pesuluk tapi Allah Ta’ala yang menentukan. Itulah artinya maqam-maqam atau jenjang-jenjang spiritual.
Adapun ahwal atau hal-hal adalah hembusan-hembusan spiritual yang dihirup oleh seorang pesuluk, sehingga jiwa si pesuluk mendapatkan kesegaran ketika menghirup hembusan-hembusan spritual Ilahi (nasamaat ruhiyyah) tersebut. Hembusan ini tidak lama. Ia akan berlalu dan pergi hilang. Jiwa pesuluk terus mendambakan kembalinya hembusan Ilahi. Ahwal sifatnya sementara dan sejenak. Salah satu bentuk ahwal ialah, apa yang mereka sebut, Al-‘Unus billah. ‘Unus itu artinya perasaan asyik, artinya ber-asyik-ma'syuk dengan Allah swt. Misalnya, ketika dia shalat, dia merasakan kenikmatan shalat. Dalam berdoa merasa kenikmatan.. Mungkin kita pun pernah mengalami hal demikian, tentu dengan kadar yang berbeda, meskipun kita belum bersuluk. Allah kadang-kadang memberi kepada kita hembusanNya sehingga kita menikmati ibadah dengan khusyu, senang, namun hilang lagi. Untuk mencoba seperti itu lagi tidak bisa. Imam Ali as. pernah mengatakan, “Ketahuilah bahwa Allah mempunyai hembusan di hari-harimu.” Artinya di hari-hari kita ini, Allah memberikan hembusan kepada kita.
Contoh lain dari ahwal adalah mukasyafah atau kasyaf. Sewaktu-waktu Allah bukakan kepada seorang pesuluk tabir sehingga dia mengetahui haqiqat segala sesuatu. Penglihatannya menembus dimensi-dimensi materi. Mukasyafah juga sifatnya insidental, sejenak dan temporer. Ahwal tidak dicari tapi Allah yang memberinya kepada seorang pesuluk dan tidak datang sekehendak pesuluk.
Al-Junaid, salah seorang ‘arif mengatakan, “Hal adalah datang ke hati tapi tidak kekal, ia akan hilang.” Sebentar ia datang kemudian hilang lagi. Ahwal ini datang kepada seseorang yang sedang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Abu Nashr Al-Thusi menjelaskan bahwa maqaamaat ruuhiyyah, seperti, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridha, tawakal dan yang lainnya adalah jenjang-jenjang pesuluk. Kemudian dia meneruskan, "Adapun ahwal adalah sesuatu yang datang ke dalam hati karena kesucian zikir dan tidak lama, sebentar saja. Hal diperoleh bukan melalui mujahadah atau ibadah. Tidak seperti maqam yang diperoleh dengan mujahadah. Hal datang secara tiba-tiba. Tiba-tiba seorang pesuluk merindukan Allah, menangis, khusyu, musyahadah.
Maqam Yaqadzah
Urafa mengatakan bahwa maqam pertama adalah yaqazhah, kesadaran, bangun atau keterjagaan. Jadi maqam pertama adalah yaqazhah, sadar atau dia jaga, tidak lengah. Yaqazhah lawan dari ghaflah (kelengahan) Yaqazhah sadar atau terjaga dari kelengahan spiritual. Dia sadar bahwa dia itu diciptakan oleh Allah Ta’ala, bahwa dia di sini untuk menyembah Allah. Ghaflah di sini artinya ghaflah dari Allah karena hanya memikirkan dunia saja, memikirkan materi sehingga lengah dan lupa kepada Allah SWT. Ghaflah adalah penyakit ruhani yang besar. Allah berfirman : “Mereka melupakan Allah (mereka ghaflah kepada Allah), maka Allah lupakan mereka.
Seorang ketika lupa kepada Allah, dia berada pada titik bahaya. Sebagai akibatnya, dia akan melupakan dirinya sendiri dan melupakan segalanya sehingga jauh dari kebenaran. Itulah ghaflah sebagai lawan dari yaqazhah.
Jadi tahap pertama, yaqazhah artinya bangkit dari tidur, dari kelengahan. Para ‘urafai mengawali kitab-kitabnya dengan menyebutkan masalah yaqazhah, masalah kesadaran. Kesadaran atau keterjagaan modal pertama, karena tanpa ini orang tidak mungkin melanjutkan perjalanan spiritualnya kepada Allah SWT. Perjalanan menuju Allah swt harus dimulai dengan sadar.. Sekarang bagaimana agar kita ini yaqazhah ? Ada tiga cara agar kita masuk ke maqam pertama, yaqazhah.
Pertama, memperhatikan atau menyadari nikmat atau kenikmatan-kenikmatan Allah SWT. Memperhatikan atau menyadari karunia-karunia Allah SWT yang begitu besar dan banyak sehingga timbul kesadaran bahwa dia tidak mampu mensyukuri karunia-karunia Allah SWT. Dia sadar bahwa begitu banyak karunia Tuhan dan dia pun sadar bahwa dia tidak mampu mensyukuri semua kenikmatan dari Allah SWT. Sadar akan ketidak berdayaan mensyukuri nikmat Allah adalah modal perjalanan menuju Allah Swt.
Allah SWT berfirman : "Kalau kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan mampu menghitungnya.” Seseorang yang akan sampai ke maqam pertama, maqam yaqazhah, dia harus tahu betapa banyaknya nikmat Tuhan sehingga dia mengakui bahwa dia tidak bisa mensyukurinya. Kesadaran bahwa dia tidak berdaya dalam mensyukuri nikmat Tuhan itulah cara yang pertama untuk yaqazhah. Sebaliknya orang yang merasa mampu dan berdaya adalah awal petaka seorang manusia. Allah berfirman :“Sesungguhnya manusia itu akan berbuat taghut, berbuat zalim, berbuat kesalahan, ketika melihat dirinya cukup.”. Saya hebat, saya mampu ", ketika merasa dirinya cukup dan tidak menyadari karunia-karunia karunia Allah, maka itulah awal pertama seseorang menjadi zalim, orang yang ghaflah.
Jadi, agar sampai ke maqam yaqazhah seorang pesuluk harus belajar menyadari dan belajar mengetahui betapa banyaknya karunia Allah SWT. Betapa banyaknya kebaikan Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita. Karunia Allah bermacam-macam, tidak hanya berbentuk materi. Namun kebanyakan manusia itu mengukur nikmat dengan materi. Dia bersyukur ketika mendapatkan dapat rezeki, ketika tidak mendapatkan rezeki, tidak bersyukur. Padahal siapa tahu ketika dia tidak mendapat rezeki, dia malah lebih khusyu ibadahnya. Kenikmatan Allah sering dianggap hanya berbentuk materi. Kenikmatan yang berbentuk spiritual tidak dianggap kenikmatan. Kenikmatan dari Allah bisa berbentuk materi dan non-materi..
Ketika orang ingin sampai ke maqam yaqazhah, harus menyadari bahwa begitu banyak karunia Allah Ta’ala yang luas. Tidak hanya berbentuk materi tapi juga non materi. Coba kita bayangkan masalah syukur. Tatkala seseorang bersyukur kepada Allah Ta’ala, menyadari begitu banyaknya karunia Allah Ta’ala dan dia sadar bahwa dia tidak mampu menghitungnya, akhirnya bersyukur alhamdulillah. Syukur ini bisa kita ungkapkan lewat ucapan, dan itu yang minimal, dan bisa juga dengan tindakan..
Kedua, untuk sampai ke maqam yaqazhah adalah mempelajari dosa-dosa, mempelajari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan menyadari tentang bahaya dari dosa. Artinya mengetahui perbuatan-perbuatan yang tidak baik, apa saja hal-hal yang bisa memperkeruh hati, apa akibat dari perbuatan. Setiap yang kita lakukan itu ada akibatnya, apapun juga, kebaikan atau kejahatan. Jadi dosa yang kita kerjakan itu bisa melahirkan satu akibat.Kita mesti mempelajari dosa-dosa dan apa akibat yang akan muncul dari dosa tersebut. Dalam doa Kumail ada kalimat : “Ya Allah ampunilah dosa-dosa yang merobek-robek keterjagaan.",Ampunilah dosa-dosa yang menyebabkan turunnya bala", " Ampunilahdosa-dosa yang menghalangi doa ".
Kita tidak khusyu dalam ibadah, bisa jadi akibat dosa. Orang yang makan khumus dan orang yang tidak mengeluarkan khumus tidak akan khusyu ibadahnya. Allah akan menarik kekhusyuan dari orang yang makan khumus atau tidak mengeluarkan khumus. Orang yang tidak shalat apa akibatnya ?, orang yang tidak zakat apa akibatnya?, orang yang berbuat kemaksiatan apa akibatnya?. Semua itu mesti dipelajari sehingga timbul yaqadzah. Kemudian setelah mengetahui dosa-dosa, kita mengencangkan langkah kita untuk meninggalkan dosa. Melepaskan dari ikatan-ikatan dosa dan minta kepada Allah agar diselamatkan dari dosa. Ini adalah cara kedua untuk yaqazhah.
Seorang sahabat Nabi saww. bernama Abu Hudzaifah Al-Yamani yang digelari sebagai shahibul sirr Nabi atau pemilik rahasia Nabi, yang mengetahui rahasia-rahasia Nabi.Dia mengetahui siapa sahabat-sahabat Nabi yang munafik. Setelah Nabi saww. wafat, salah seorang sahabat yang terkenal kebesarannya bertanya, “Sebutkan, apakah saya termasuk yang munafik atau tidak?”. "Abu Hudzaifah tidak menjawab karena Nabi mewasiatkan untuk tidak membuka rahasia. Setelah Nabi meninggal, dia pengikut Imam Ali as. yang setia. Dia mengatakan, dalam riwayat yang populer di kalangan Sunnah dan Syi’ah, "Saya bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang tidak baik, tentang dosa-dosa. Aku menanyakan hal ini kepada Nabi agar aku bisa menghindarinya atau meninggalkannya ".Mempelajari dosa bukan untuk melakukannya tapi untuk menghindarinya. Hal itu dilakukan agar sampai ke maqam yaqazhah.
Kemudian cara yang Ketiga, adalah memperhatikan ibadah-ibadah yang sudah kita lakukan dan ibadah-ibadah yang kita tinggalkan di hari-hari yang lalu. Mengadakan evaluasi tentang amal ibadah kita. Evaluasi ini dilakukan setiap hari bukan setahun sekali.[]
____________
Ceramah Ustadz Husein Alkaff dalam paket kajian tentang 'irfan di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad. Ditranskrip oleh: Donny Somadijaya, SH.
Sumber : http://aljawad.tripod.com/buletinew/edisi_ke_4.htm
Minggu, 03 April 2011
Mungkin ini Cinta
Telah menjadi satu landasan pemikiran, atau bisa dibilang suatu ideologi sederhana, bahwa cinta adalah satu konteks eksistensi yang dapat membahagiakan dan kemudian menyengsarakan setiap pelakunya. Pelaku percintaan atau orang yg mecintai akan semata-mata menganggap bahwa cinta adalah suatu hal yang harus dituntut bagi setiap manusia, dan setelah ia merasakan kegagalan atau akhir yang tidak diinginkan, maka ia akan menyalahkan cinta dan merasa bahwa cinta adalah keterjerumusan.Pada dasarnya pemikiran semacam itu adalah hasil dari kecerobohan manusia, dan keterbatasan pengetahuan dan keyakinan mendasar akan konsep cinta yang telah dipahaminya.
Tuhan pemilik cinta dan pemilik segala keberadaan yang ada telah terlebih dahulu menyadarkan seluruh maujud yang ada, bahwa bisa seluruh keberadaan yang ada. Mungkin ini salah satu satu argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar pemahaman bahwa cinta adalah suatu kemurnian, kebaikan, kebahagiaan, penghangat setiap keadilan dan tuntutan bagi setiap pemilik hati.
Kesengsaraan yang terjadi dalam kehidupan yang didasari oleh cinta, pada hakikatnya adalah kesalahan pemahaman yang fatal. Pelaku cinta telah terhanyut dalam cinta yang salah, cinta yang tidak mengenal tumpuan yang layak, dan yang paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah penggunaan perasaan yang diawali dengan rasa ingin tahu, pengenalan terhadap objek yang akan dijadikan sebagai tujuan cinta, lalu setelah cinta itu timbul di kedua belah pihak, dihancurkan oleh keinginan lain yang datangnya bukan dari cinta. Rasa ingin memiliki adalah satu hal yang paling berperan penting dalam hancurnya kehidupan manusia yang menjadi satu indikasi yang dipandang wajar bahwa itu adalah kesalahan cinta. Mungkin ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar kita tidak menyesali perbuatan mencintai.
1.Tentukan Objek
Yang terpenting dalam tindakan mencintai adalah menentukan objeknya, karena ini juga yang menjadi salah satu faktor bahwa cinta adalah sumber keterpurukan. Yang dicintai dengan segenap raga dan jiwa tidak dapat memberikan kontribusi khusus yang diharapkan yang akhirnya hanya membuahkan penyesalan dan cinta dijadikan sebagai kambing hitam dalam seluruh aspek perasaan yang telah dikorbankan. Hal ini juga menjadi tameng terhadap rasa kecewa, karena target yang akan dicintai telah memenuhi syarat dan telah melampaui batas normal dalam pandangan pecintanya. Target dikehendaki seistimewa mungkin, agar ketika terjadi ketertutupan jalan menuju target, sang pelaku akan senantiasa menganggap dirinya tidak layak untuk mendapatkannya, dan akan senantiasa mengeluarkan segenap potensi dirinya, dan menjadikan dirinya lebih baik dari sebelumnya.
2. Tanpa Pamrih
Pengorbanan yang diatas namakan oleh cinta setidaknya dapat memberikan kepuasan tersendiri terhadap si pengorban tersebut, akan tetapi tidak jarang pula yang meyalahkan cinta karena pengorbanannya tidak terbalaskan dengan apa yang diharapkan. Ketulusan adalah salah satu solusi yang paling efektif untuk mencegah kekecewaan itu. Maka dari itu setiap pelaku harus terlebih dahulu menentukan objek seperti yang telah di paparkan sedikit dibagian sebelumnya. Setidaknya tidak akan ada penyesalan karena si pelaku telah terlebih dahulu meyakini bahwa mencintai adalah kebutuhan dan akan menjadi satu beban tersendiri ketika cintanya tidak tercurahkan kepada kekasihnya.
3. Berfikir positif
Kebanyakan manusia, tidak menjunjung tinggi nilai relevansi. Formalitas dijadikan segalanya. Hal inilah yang menjadikan cinta dipandang sebagai sumber dari kesengsaraan. Mencintai adalah kebutuhan mutlak setiap insan yang berakal dan memiliki hati. Cinta dengan segenap kemurnian dan esensi yang melekat dengan Tuhan, akan mewarnai seluruh ranah permasalahan yang terjadi di muka bumi ini. Ketika sang pelaku cinta mulai mengasihi kekasihnya dengan rasa cinta yang dikemas dengan perhatian, kasih sayang, ucapan-ucapan lembut yang keluar dari bibirnya. Secara tak sadar, ia telah menghibur dirinya dengan itu. Tidak hanya sampai disini, yang terjadi pada kebanyakan pelaku jatuh cinta, menempatkan perasaan-perasaan lain dalam hatinya yang ditujukan terhadap kekasihnya. Sampai disini harus lebih ditegaskan, bahwa ada perasaan-perasaan lain yang datangnya bukan dari cinta melainkan dari hawa nafsu yang menjelma dalam perasaan yang memberitahukan pada akal bahwa ini adalah cinta. Hal-hal semacam itu mengemas dirinya dengan keindahan, mewarnai perasaan dengan harapan-harapan lain, yang nantinya akan menimbulkan rasa ingin memiliki. Sudah semakin jelas, ketika rasa ingin memiliki itu hadir, kemurnian cinta akan hilang dan terkontaminasi. Manisnya perjuangan, kasih sayang, perhatian, dan ucapan-ucapan lembut yang pertama hadirpun akan memudar, karena semuanya tidak didasari oleh cinta. Dan mulailah berfikir positif menghargai cinta sebagai kemurnian mutlak suatu kebahagiaan, dan siap mengatakan bahwa kesengsaraan-kesengsaraan semacam itu datangnya bukan dari cinta, melainkan perasaan-perasaan lain yang menjelma dengan keindahan dan membuat akal tak mampu lagi berfikir dan menumpahkan semua kesalahan ini terhadap cinta.
Ketika diibaratkan, burung yang ada didalam sangkar yang pintu sangkarnya dalam keadaan terbuka karena sang pemilik lupa menutup pintunya, maka kemungkinan buruk yang akan terjadi adalah burung itu akan keluar dan terbang tak tentu arah mengikuti kehendak hati dan hinggap dimanapun tempat yang ia kehendaki tanpa memperhatikan keamanan atau perihal lain yang meliputi tempat hinggapnya si burung tadi. Cinta bukan seperti burung yang sangkarnya lupa ditutup oleh pemilik sangkar.
Cinta adalah aktual, ada, hadir, independen terhadap apapun. Cinta dimiliki oleh setiap pemilik hati, cinta akan hadir jika diminta dan akan hilang ketika yang dicinta sudah tidak layak lagi, dan akan pindah kepada kekasih baru yang layak untuk dicinta. Cinta bukan kepemilikan, melainkan pengorbanan, bukan juga harapan melainkan kesantunan, bukan kesengsaraan melainkan kebutuhan. Curahkan cinta yang ada terhadap yang layak, karena cinta adalah milik kita, bukan milik yang dicinta. Yang kita kasihi hanya merupakan wadah kosong yang indah, lembab dan membutuhkan cinta kita untuk menghiasi wadah tersebut dan ketika suatu waktu wadah tersebut tidak layak lagi untuk dihiasi dengan rasa cinta, kasih sayang, pengorbanan dan hal-hal indah lainnya, maka dengan segenap independensi yang telah Tuhan berikan pada diri kita, kita mampu untuk menarik cinta kita kembali dan memindahkannya sesuai dengan yang kita inginkan dan layak sebagai persinggahan kasih sayang. Semua itu harus didasari oleh pemahaman bahwa cinta yang kita miliki adalah suatu hal yang berharga dan sangat istimewa, dan tentunya kita tidak akan meletakkan cinta ini disembarang tempat, yang nantinya hanya akan merendahkan eksistensi cinta tersebut.
Tuhan pemilik cinta dan pemilik segala keberadaan yang ada telah terlebih dahulu menyadarkan seluruh maujud yang ada, bahwa bisa seluruh keberadaan yang ada. Mungkin ini salah satu satu argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar pemahaman bahwa cinta adalah suatu kemurnian, kebaikan, kebahagiaan, penghangat setiap keadilan dan tuntutan bagi setiap pemilik hati.
Kesengsaraan yang terjadi dalam kehidupan yang didasari oleh cinta, pada hakikatnya adalah kesalahan pemahaman yang fatal. Pelaku cinta telah terhanyut dalam cinta yang salah, cinta yang tidak mengenal tumpuan yang layak, dan yang paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah penggunaan perasaan yang diawali dengan rasa ingin tahu, pengenalan terhadap objek yang akan dijadikan sebagai tujuan cinta, lalu setelah cinta itu timbul di kedua belah pihak, dihancurkan oleh keinginan lain yang datangnya bukan dari cinta. Rasa ingin memiliki adalah satu hal yang paling berperan penting dalam hancurnya kehidupan manusia yang menjadi satu indikasi yang dipandang wajar bahwa itu adalah kesalahan cinta. Mungkin ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar kita tidak menyesali perbuatan mencintai.
1.Tentukan Objek
Yang terpenting dalam tindakan mencintai adalah menentukan objeknya, karena ini juga yang menjadi salah satu faktor bahwa cinta adalah sumber keterpurukan. Yang dicintai dengan segenap raga dan jiwa tidak dapat memberikan kontribusi khusus yang diharapkan yang akhirnya hanya membuahkan penyesalan dan cinta dijadikan sebagai kambing hitam dalam seluruh aspek perasaan yang telah dikorbankan. Hal ini juga menjadi tameng terhadap rasa kecewa, karena target yang akan dicintai telah memenuhi syarat dan telah melampaui batas normal dalam pandangan pecintanya. Target dikehendaki seistimewa mungkin, agar ketika terjadi ketertutupan jalan menuju target, sang pelaku akan senantiasa menganggap dirinya tidak layak untuk mendapatkannya, dan akan senantiasa mengeluarkan segenap potensi dirinya, dan menjadikan dirinya lebih baik dari sebelumnya.
2. Tanpa Pamrih
Pengorbanan yang diatas namakan oleh cinta setidaknya dapat memberikan kepuasan tersendiri terhadap si pengorban tersebut, akan tetapi tidak jarang pula yang meyalahkan cinta karena pengorbanannya tidak terbalaskan dengan apa yang diharapkan. Ketulusan adalah salah satu solusi yang paling efektif untuk mencegah kekecewaan itu. Maka dari itu setiap pelaku harus terlebih dahulu menentukan objek seperti yang telah di paparkan sedikit dibagian sebelumnya. Setidaknya tidak akan ada penyesalan karena si pelaku telah terlebih dahulu meyakini bahwa mencintai adalah kebutuhan dan akan menjadi satu beban tersendiri ketika cintanya tidak tercurahkan kepada kekasihnya.
3. Berfikir positif
Kebanyakan manusia, tidak menjunjung tinggi nilai relevansi. Formalitas dijadikan segalanya. Hal inilah yang menjadikan cinta dipandang sebagai sumber dari kesengsaraan. Mencintai adalah kebutuhan mutlak setiap insan yang berakal dan memiliki hati. Cinta dengan segenap kemurnian dan esensi yang melekat dengan Tuhan, akan mewarnai seluruh ranah permasalahan yang terjadi di muka bumi ini. Ketika sang pelaku cinta mulai mengasihi kekasihnya dengan rasa cinta yang dikemas dengan perhatian, kasih sayang, ucapan-ucapan lembut yang keluar dari bibirnya. Secara tak sadar, ia telah menghibur dirinya dengan itu. Tidak hanya sampai disini, yang terjadi pada kebanyakan pelaku jatuh cinta, menempatkan perasaan-perasaan lain dalam hatinya yang ditujukan terhadap kekasihnya. Sampai disini harus lebih ditegaskan, bahwa ada perasaan-perasaan lain yang datangnya bukan dari cinta melainkan dari hawa nafsu yang menjelma dalam perasaan yang memberitahukan pada akal bahwa ini adalah cinta. Hal-hal semacam itu mengemas dirinya dengan keindahan, mewarnai perasaan dengan harapan-harapan lain, yang nantinya akan menimbulkan rasa ingin memiliki. Sudah semakin jelas, ketika rasa ingin memiliki itu hadir, kemurnian cinta akan hilang dan terkontaminasi. Manisnya perjuangan, kasih sayang, perhatian, dan ucapan-ucapan lembut yang pertama hadirpun akan memudar, karena semuanya tidak didasari oleh cinta. Dan mulailah berfikir positif menghargai cinta sebagai kemurnian mutlak suatu kebahagiaan, dan siap mengatakan bahwa kesengsaraan-kesengsaraan semacam itu datangnya bukan dari cinta, melainkan perasaan-perasaan lain yang menjelma dengan keindahan dan membuat akal tak mampu lagi berfikir dan menumpahkan semua kesalahan ini terhadap cinta.
Ketika diibaratkan, burung yang ada didalam sangkar yang pintu sangkarnya dalam keadaan terbuka karena sang pemilik lupa menutup pintunya, maka kemungkinan buruk yang akan terjadi adalah burung itu akan keluar dan terbang tak tentu arah mengikuti kehendak hati dan hinggap dimanapun tempat yang ia kehendaki tanpa memperhatikan keamanan atau perihal lain yang meliputi tempat hinggapnya si burung tadi. Cinta bukan seperti burung yang sangkarnya lupa ditutup oleh pemilik sangkar.
Cinta adalah aktual, ada, hadir, independen terhadap apapun. Cinta dimiliki oleh setiap pemilik hati, cinta akan hadir jika diminta dan akan hilang ketika yang dicinta sudah tidak layak lagi, dan akan pindah kepada kekasih baru yang layak untuk dicinta. Cinta bukan kepemilikan, melainkan pengorbanan, bukan juga harapan melainkan kesantunan, bukan kesengsaraan melainkan kebutuhan. Curahkan cinta yang ada terhadap yang layak, karena cinta adalah milik kita, bukan milik yang dicinta. Yang kita kasihi hanya merupakan wadah kosong yang indah, lembab dan membutuhkan cinta kita untuk menghiasi wadah tersebut dan ketika suatu waktu wadah tersebut tidak layak lagi untuk dihiasi dengan rasa cinta, kasih sayang, pengorbanan dan hal-hal indah lainnya, maka dengan segenap independensi yang telah Tuhan berikan pada diri kita, kita mampu untuk menarik cinta kita kembali dan memindahkannya sesuai dengan yang kita inginkan dan layak sebagai persinggahan kasih sayang. Semua itu harus didasari oleh pemahaman bahwa cinta yang kita miliki adalah suatu hal yang berharga dan sangat istimewa, dan tentunya kita tidak akan meletakkan cinta ini disembarang tempat, yang nantinya hanya akan merendahkan eksistensi cinta tersebut.
Peran Penting Akal Dalam Konsep Agama
Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman (dalam pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu dilontarkan ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?
Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Akal dan Syariat
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya: berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.
Batasan-batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.
Pembelaan Akal terhadap Agama
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:
1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal secara langsung.
2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.
3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara secara partikular.
4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular, mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.
5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa dipertahankan.
Kebenaran Iman
Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:
1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.
2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu, maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[]
[1] .Surat Yusuf ayat 2[2]. Kulaini juz 1 hal 11
Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Akal dan Syariat
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya: berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.
Batasan-batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.
Pembelaan Akal terhadap Agama
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:
1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal secara langsung.
2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.
3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara secara partikular.
4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular, mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.
5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa dipertahankan.
Kebenaran Iman
Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:
1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.
2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu, maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[]
[1] .Surat Yusuf ayat 2[2]. Kulaini juz 1 hal 11
Pornografi dan Pornoaksi merupakan Taktik Setan dalam Mengeluarkan Manusia dari Esensi Ke-manusiaan-nya (Fitrah)
Pro dan konta berkaitan dengan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi telah menimbulkan berbagai dilema dalam kehidupan masyarakat di tanah air kita. Sebagian menyambutnya dengan antusias diberlakukannya UU tersebut. Sebagian lagi menentangnya dan berpendapat bahwa dalam hal ini pemerintah terlalu ikut campur dalam masalah busana dan penampilan kaum hawa.
Jika kita lihat isi undang-undang tersebut maka mayoritas obyeknya berkaitan dengan kamu perempuan. Selain itu, ada opimi bahwa sebenarnya pemerintah dengan adanya UU anti pornografi dan pornoaksi telah berusaha menutupi berbagai permasalahan besar yang sedang terjadi di negara dengan mengalihkan opini publik dari berbagai masalah yang sedang terjadi ke masalah pornografi dan pornoaksi. Walaupun kami sendiri tidak mengetahui secara detail apakah terjadi rekayasa dalam hal ini, karena pabila kita lihat permasalahan di negara kita sekarang ini sangat kompleks sekali. Belum tuntas dari satu permasalahan, permasalahan lain sudah datang lagi.
Tujuan kami sebenarnya bukan untuk mengupas masalah UU anti pornografi dan pornoaksi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pornografi dan pornoaksi semakin marak mewarnai kehidupan zaman sekarang ini, baik yang berkala nasional maupun internasional. Fenomena ini yang telah membuat khawatir para orang tua, yang merupakan salah satu efek negatif globalisasi. Sebenarnya, masalah pornografi dan pornoaksi akan dapat diminimalir dengan membekali diri dan memperkuat dasar-dasar pemikiran, keyakinan dan memperbaiki pandangan hidup terhadap dunia. Dengan disertai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dari diri kita sendiri.
Kita tidak dapat menutup mata dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut berlalu begitu saja tanpa mencari jawaban-jawabannya. Karena pencarian jawaban-jawaban tersebut sangat berpengaruh dalam penentuan nasib hidup, masa depan, kebahagiaan dan kesengsaraan kita. Pertanyaan utama yang yang terlontar dari dalam lubuk kita adalah; “Siapa kita?”, “Kita berasal dari mana?”, “Berada dimana?”, dan “Akan pergi kemana?”. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus dicari jawaban-jawabannya.
Bagaimana tidak, kesengsaraan dan kebahagiaan sejati kita tergantung padanya. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Pemimpin orang-orang yang bertakwa, Imam Ali as yang menyatakan: “Allah akan merahmati orang yang mengetahui dari mana dia berasal (min aena)? Dimana dia berada (fi aina)? Dan hendak kemana dia akan pergi (ila aena)?”. Pertanyaan yang nampak sederhana namun memiliki bobot yang sangat dalam; Darimana kita berasal? Apakah kita ada dengan sendirinya? Ataukah ada yang menciptakan kita? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan kesadaran penuh setiap manusia yang berakal sehat dan berhati bersih. Akal sehat mengatakan bahwa, mustahil sesuatu ada dengan sendirinya tanpa ada yang membuat dan menciptakannya. Jangankan keberadaan manusia yang penuh dengan keajaiban -sehingga salah seorang tokoh pemikir Barat (Alexis Karel) mengatakan bahwa manusia merupakan “Makhluk tak dikenal”- benda sederhana saja seperti sebuah sebuah kursi mustahil akan ada tanpa ada yang membuatnya. Andaikan kita telah mengetahui bahwa diri kita ada karena ada yang menciptakan yaitu Allah SWT, lantas apa konsekwensi yang harus dilakukan oleh makhluk-Nya? Konsekuensinya adalah menuhankan-Nya, dimana bentuk kesempurnaan penuhanan Dzat tersebut adalah pengesaan dan penghambaan mutlak yang mungkin terealisasi dengan berbagai bentuk dan ragam, termasuk pengesaan dalam menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari larangan-Nya.
Di sisi lain, Allah SWT telah menciptakan manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi dan non materi, atau dengan istilah lain;sisi jasmani dan ruhani. Hanya melihat dimensi materi saja manusia tidak dapat dikatakan manusia. Karena benda, tumbuhan dan hewanpun memiliki dimensi ini. Lantas apa keutamaan manusia dari semua itu? Apakah manusia sama dengan semua hal tadi? manusia yang berakal sehat tentu tidak menghendaki dirinya disamakan dengan semua itu tadi. Oleh sebab itu, dalam filsafat Islam dikatakan bahwa, pada diri manusia terdapat berbagai tingkatan-tingkatan daya (baca: potensi); daya tumbuhan (nabati), daya kehewanan (hewani) dan daya ke-insanan (ruh insani). Daya tumbuhan; tumbuhan dikatakan sempurna sawaktu ia tumbuh berkembang dengan baik, pohonnya kuat, daunnya lebat, dahan, akarnya juga kokoh dan berbuah banyak. Jikalau manusia hanya memperhatikan perkembangan fisiknya saja seperti badannya tumbuh berkembang dari sisi tinggi dan berat yang ideal, sehat dan berotot kuat maka tidak ada bedanya dengan pohon. Maka kesempurnaannya hanya hanya terdapat pada sisi perkembangan nabatinya saja. Dan sewaktu manusia hanya memperhatikan masalah yang berkaitan dengan isi perut, pasangan hidup atau pemuasan libido (seks), sibuk memperbanyak keturunan, mencari tempat tinggal yang enak dengan berbagai fasilitas, singkatnya ia hanya berusaha menjadi manusia hedonis maka ia hanya berkembang sempurna pada sisi hewaninya. Karena hewanpun mencari pasangan hidup, memiliki keturunan, mencari tempat nyaman untuk tinggal dan lain sebagainya yang merupakan instink (gharizah) hewani. Begitu juga dengan daya bendawi, seperti bebatuan dimana kesempurnaan batu terdapat pada kekokohannya, atau dari sisi zahirnya saja. Secara global bahwa semua sisi-sisi tadi bukanlah sifat-sifat kesempurnaan khusus bagi manusia, makhluk yang lainpun memilikinya. Lantas apa kesempurnaan khusus yang dimiliki oleh manusia yang tidak akan dimiliki oleh makhluk lain?
Hanya daya dan potensi khusus yang terdapat pada jiwa ke-manusia-an (ruh insani) yang dapat membedakan manusia dari makhluk lainnya, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai manusia. Sementara hakekat ruh insani ini hanya terwujud pada sisi non materi manusia, seperti; daya pikir. Dikarenakan hanya kelompok manusia saja yang dapat berpikir, sementara Allah SWT telah memberikan fasilitas kepadanya berupa akal sebagai sarana untuk berpikir. Dalam ilmu logika dikatakan, ketika mendefinisikan manusia: “Al-insanu hayawun natiq”, manusia adalah hewan (makhluk hidup yang bergerak dengan free-will) yang mampu berpikir. Walaupun secara linguistik kata ‘natiq’ memiliki makna “berbicara”, namun juga dipakai untuk makna “berpikir”. Oleh karenanya dalam penggunaannya kedua makna tersebut dapat dibenarkan. Karena proses berbicara secara sadar harus didahului dengan proses berpikir. Dan hanya manusia saja makhluk yang berbicara dan berpikir. Oleh karenanya, ketika manusia menggunakan daya pikirnya dengan baik maka baru dapat dikatakan sebagai manusia.
Sisi dimensi non materi lain manusia adalah fitrah. Fitrah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Singkatnya, fitrah adalah esensi dasar penciptaan manusia. Fitrah manusia ini dapat terus terjaga selamanya dan menjadi pelita kehidupan manusia, atau mungkin akan mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya ialah faktor lingkungan. Hewan hidup dengan menggunakan instinknya (gharizah), bukan fitrah. Dan fitrah ini memiliki berbagai perwujudannya, yang utama terdapat pada tiga hal; “Cinta kesempurnaan”, “Cinta kebenaran” dan “Cinta kebaikan”, yang semuanya masing-masing memiliki cabang tersendiri. Salah satu dari cabang yang ada adalah fitrah rasa malu yang rasional dan fitri. Fitrah manusia ini dapat terus terjaga selamanya dan menjadi pelita kehidupan manusia, atau mungkin akan mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya ialah faktor eksternal yang mungkin dikarenakan akibat negatif lingkungan yang tidak mendukung.
Ketika manusia memiliki rasa malu yang rasional berarti fitrahnya masih sehat dan belum terpolusi serta tertutup oleh penghalang unsur negatif akibat faktor eksternal. Menutup aurat dan berbusana merupakan fitrah manusia, untuk menutupi rasa malu rasionalnya. Kita dapat melihat hal ini pada Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang merupakan para manusia pertama. Ketika busana mereka terbuka, mereka merasa malu dan lantas menutupinya dengan dedaunan yang ada di surga (eden); “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga…”(QS Thohaa:121) Manusia yang tidak memiliki rasa malu berarti pancaran cahaya fitrahnya telah tertutup dan ia telah keluar dari jiwa kemanusiaannya yang rasional. Olah karenanya ia lebih pantas disebut dengan hewan berbaju manusia, dikarenakan ia tidak dapat menerangi dirinya dengan sorotan cahaya fitrah insaniyahnya. Pornografi dan pornoaksi yang semakin merebak sekarang ini dikarenakan manusia telah melupakan sisi ke-manusiaan-nya dan mengenakan baju hewani yang tidak layak dikenakan oleh makhluk yang bernama manusia. Karena Allah SWT Pencipta manusia ketika menciptakan manusia Ia menghendaki manusia menjadi ‘manusia’ (sempurna), bukan lantas menjadi ‘hewan’, apalagi hanya sekedar menjadi ‘tumbuhan’.
Oleh karena itu, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an, pornografi dan pornoaksi sebagai senjata dan tipu daya setan dalam mengeluarkan manusia dari dimensi dan daya ke-manusia-annya. Karena setan tidak menhendaki manusia menjadi ‘manusia’. Setan menghendaki manusia menjadi ‘hewan’ atau ‘tumbuhan’ yang akan menjadi bahan bakar neraka. Bukankah Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya…”(QS Al-A’raf: 27). Dan firman Allah SWT: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya...” (QS Al-A’raf:20). Sewaktu seseorang melakukan tindak pornografi dan pornoaksi maka secara tidak langsung ia telah menjadikannya dirinya sebagai hamba setan dan menjatuhkan dirinya ke dalam jurang hewani. Bukankah Allah SWT berfirman dalam surah Yasiin ayat 60: “Bukankah Aku Telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (QS Yasiin: 60)?
Oleh sebab itu, di antara solusi yang dapat dilakukan oleh para orang tua ataupun manusia agar terjaga dari efek globalisasi pornografi ialah dengan membekali dan memperkuan keimanan terhadap Pencipta kita, dan memperbaiki “pandangan dunia”, serta menjawab berbagai pertanyaan (seperti: dari mana kita?, ada dimana?, sekarang ada dimana (yang kehidupan dunia hanyalah ladang akhirat, dan bersifat sementara)?). Kita meyajkini –berdasarkan argumen rasional dan tekstual yang dapat kita pelajari dalam kajian Teology- bahwa kehidupan tidak berakhir pada kematian, lantas selesai. Ini tidak seperti halnya yang dikatakan kaum Atheis dan telah disinyalir dan dijawab oleh Qur’an, “Dan mereka berkata: “Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja” (QS al-Jatsiah:24). Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan; hendak kemana? Artinya, karena kita hidup di dunia ini sementara dan akan pergi ke tempat lain maka kita memerlukan bekal untuk pergi ke tempat abadi (akhirat) tadi. Betapa bodohnya orang yang mengetahui hendak bepergian jauh namun ia santai-santai dan tidak mempersiapkan bekal yang diperlukan dalam perjalanan menuju tempat tersebut.
Kembali mengenal “hakikat diri” sebagai manusia dan apa saja yang menjadikan ia dikatakan sebagai manusia adalah merupakan cara lain dalam menghadapi problem ini. Menyadarkan ataupun mengenalkan pada diri kita -dan orang lain- bahwa pada hakekatnya pornografi merupakan tipu daya dan senjata setan untuk menjadikan kita sebagai hambanya. Padahal, ketika di akhirat nanti, setan hendak berlepas tangan dari kita dan ia akan mengatakan; kenapa engkau mengikutiku, wahai manusia? Bukankah aku tidak pernah memaksamu untuk melakukan hal itu? Tanggunglah sendiri hasil perbuatanmu! Allah SWT berfirman: ”Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) Telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah Telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun Telah menjanjikan kepadamu tetapi Aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) Aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca Aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya Aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan Aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (QS Ibrahim: 22).
Jika kita lihat isi undang-undang tersebut maka mayoritas obyeknya berkaitan dengan kamu perempuan. Selain itu, ada opimi bahwa sebenarnya pemerintah dengan adanya UU anti pornografi dan pornoaksi telah berusaha menutupi berbagai permasalahan besar yang sedang terjadi di negara dengan mengalihkan opini publik dari berbagai masalah yang sedang terjadi ke masalah pornografi dan pornoaksi. Walaupun kami sendiri tidak mengetahui secara detail apakah terjadi rekayasa dalam hal ini, karena pabila kita lihat permasalahan di negara kita sekarang ini sangat kompleks sekali. Belum tuntas dari satu permasalahan, permasalahan lain sudah datang lagi.
Tujuan kami sebenarnya bukan untuk mengupas masalah UU anti pornografi dan pornoaksi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pornografi dan pornoaksi semakin marak mewarnai kehidupan zaman sekarang ini, baik yang berkala nasional maupun internasional. Fenomena ini yang telah membuat khawatir para orang tua, yang merupakan salah satu efek negatif globalisasi. Sebenarnya, masalah pornografi dan pornoaksi akan dapat diminimalir dengan membekali diri dan memperkuat dasar-dasar pemikiran, keyakinan dan memperbaiki pandangan hidup terhadap dunia. Dengan disertai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dari diri kita sendiri.
Kita tidak dapat menutup mata dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut berlalu begitu saja tanpa mencari jawaban-jawabannya. Karena pencarian jawaban-jawaban tersebut sangat berpengaruh dalam penentuan nasib hidup, masa depan, kebahagiaan dan kesengsaraan kita. Pertanyaan utama yang yang terlontar dari dalam lubuk kita adalah; “Siapa kita?”, “Kita berasal dari mana?”, “Berada dimana?”, dan “Akan pergi kemana?”. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus dicari jawaban-jawabannya.
Bagaimana tidak, kesengsaraan dan kebahagiaan sejati kita tergantung padanya. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Pemimpin orang-orang yang bertakwa, Imam Ali as yang menyatakan: “Allah akan merahmati orang yang mengetahui dari mana dia berasal (min aena)? Dimana dia berada (fi aina)? Dan hendak kemana dia akan pergi (ila aena)?”. Pertanyaan yang nampak sederhana namun memiliki bobot yang sangat dalam; Darimana kita berasal? Apakah kita ada dengan sendirinya? Ataukah ada yang menciptakan kita? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan kesadaran penuh setiap manusia yang berakal sehat dan berhati bersih. Akal sehat mengatakan bahwa, mustahil sesuatu ada dengan sendirinya tanpa ada yang membuat dan menciptakannya. Jangankan keberadaan manusia yang penuh dengan keajaiban -sehingga salah seorang tokoh pemikir Barat (Alexis Karel) mengatakan bahwa manusia merupakan “Makhluk tak dikenal”- benda sederhana saja seperti sebuah sebuah kursi mustahil akan ada tanpa ada yang membuatnya. Andaikan kita telah mengetahui bahwa diri kita ada karena ada yang menciptakan yaitu Allah SWT, lantas apa konsekwensi yang harus dilakukan oleh makhluk-Nya? Konsekuensinya adalah menuhankan-Nya, dimana bentuk kesempurnaan penuhanan Dzat tersebut adalah pengesaan dan penghambaan mutlak yang mungkin terealisasi dengan berbagai bentuk dan ragam, termasuk pengesaan dalam menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari larangan-Nya.
Di sisi lain, Allah SWT telah menciptakan manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi dan non materi, atau dengan istilah lain;sisi jasmani dan ruhani. Hanya melihat dimensi materi saja manusia tidak dapat dikatakan manusia. Karena benda, tumbuhan dan hewanpun memiliki dimensi ini. Lantas apa keutamaan manusia dari semua itu? Apakah manusia sama dengan semua hal tadi? manusia yang berakal sehat tentu tidak menghendaki dirinya disamakan dengan semua itu tadi. Oleh sebab itu, dalam filsafat Islam dikatakan bahwa, pada diri manusia terdapat berbagai tingkatan-tingkatan daya (baca: potensi); daya tumbuhan (nabati), daya kehewanan (hewani) dan daya ke-insanan (ruh insani). Daya tumbuhan; tumbuhan dikatakan sempurna sawaktu ia tumbuh berkembang dengan baik, pohonnya kuat, daunnya lebat, dahan, akarnya juga kokoh dan berbuah banyak. Jikalau manusia hanya memperhatikan perkembangan fisiknya saja seperti badannya tumbuh berkembang dari sisi tinggi dan berat yang ideal, sehat dan berotot kuat maka tidak ada bedanya dengan pohon. Maka kesempurnaannya hanya hanya terdapat pada sisi perkembangan nabatinya saja. Dan sewaktu manusia hanya memperhatikan masalah yang berkaitan dengan isi perut, pasangan hidup atau pemuasan libido (seks), sibuk memperbanyak keturunan, mencari tempat tinggal yang enak dengan berbagai fasilitas, singkatnya ia hanya berusaha menjadi manusia hedonis maka ia hanya berkembang sempurna pada sisi hewaninya. Karena hewanpun mencari pasangan hidup, memiliki keturunan, mencari tempat nyaman untuk tinggal dan lain sebagainya yang merupakan instink (gharizah) hewani. Begitu juga dengan daya bendawi, seperti bebatuan dimana kesempurnaan batu terdapat pada kekokohannya, atau dari sisi zahirnya saja. Secara global bahwa semua sisi-sisi tadi bukanlah sifat-sifat kesempurnaan khusus bagi manusia, makhluk yang lainpun memilikinya. Lantas apa kesempurnaan khusus yang dimiliki oleh manusia yang tidak akan dimiliki oleh makhluk lain?
Hanya daya dan potensi khusus yang terdapat pada jiwa ke-manusia-an (ruh insani) yang dapat membedakan manusia dari makhluk lainnya, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai manusia. Sementara hakekat ruh insani ini hanya terwujud pada sisi non materi manusia, seperti; daya pikir. Dikarenakan hanya kelompok manusia saja yang dapat berpikir, sementara Allah SWT telah memberikan fasilitas kepadanya berupa akal sebagai sarana untuk berpikir. Dalam ilmu logika dikatakan, ketika mendefinisikan manusia: “Al-insanu hayawun natiq”, manusia adalah hewan (makhluk hidup yang bergerak dengan free-will) yang mampu berpikir. Walaupun secara linguistik kata ‘natiq’ memiliki makna “berbicara”, namun juga dipakai untuk makna “berpikir”. Oleh karenanya dalam penggunaannya kedua makna tersebut dapat dibenarkan. Karena proses berbicara secara sadar harus didahului dengan proses berpikir. Dan hanya manusia saja makhluk yang berbicara dan berpikir. Oleh karenanya, ketika manusia menggunakan daya pikirnya dengan baik maka baru dapat dikatakan sebagai manusia.
Sisi dimensi non materi lain manusia adalah fitrah. Fitrah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Singkatnya, fitrah adalah esensi dasar penciptaan manusia. Fitrah manusia ini dapat terus terjaga selamanya dan menjadi pelita kehidupan manusia, atau mungkin akan mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya ialah faktor lingkungan. Hewan hidup dengan menggunakan instinknya (gharizah), bukan fitrah. Dan fitrah ini memiliki berbagai perwujudannya, yang utama terdapat pada tiga hal; “Cinta kesempurnaan”, “Cinta kebenaran” dan “Cinta kebaikan”, yang semuanya masing-masing memiliki cabang tersendiri. Salah satu dari cabang yang ada adalah fitrah rasa malu yang rasional dan fitri. Fitrah manusia ini dapat terus terjaga selamanya dan menjadi pelita kehidupan manusia, atau mungkin akan mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya ialah faktor eksternal yang mungkin dikarenakan akibat negatif lingkungan yang tidak mendukung.
Ketika manusia memiliki rasa malu yang rasional berarti fitrahnya masih sehat dan belum terpolusi serta tertutup oleh penghalang unsur negatif akibat faktor eksternal. Menutup aurat dan berbusana merupakan fitrah manusia, untuk menutupi rasa malu rasionalnya. Kita dapat melihat hal ini pada Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang merupakan para manusia pertama. Ketika busana mereka terbuka, mereka merasa malu dan lantas menutupinya dengan dedaunan yang ada di surga (eden); “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga…”(QS Thohaa:121) Manusia yang tidak memiliki rasa malu berarti pancaran cahaya fitrahnya telah tertutup dan ia telah keluar dari jiwa kemanusiaannya yang rasional. Olah karenanya ia lebih pantas disebut dengan hewan berbaju manusia, dikarenakan ia tidak dapat menerangi dirinya dengan sorotan cahaya fitrah insaniyahnya. Pornografi dan pornoaksi yang semakin merebak sekarang ini dikarenakan manusia telah melupakan sisi ke-manusiaan-nya dan mengenakan baju hewani yang tidak layak dikenakan oleh makhluk yang bernama manusia. Karena Allah SWT Pencipta manusia ketika menciptakan manusia Ia menghendaki manusia menjadi ‘manusia’ (sempurna), bukan lantas menjadi ‘hewan’, apalagi hanya sekedar menjadi ‘tumbuhan’.
Oleh karena itu, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an, pornografi dan pornoaksi sebagai senjata dan tipu daya setan dalam mengeluarkan manusia dari dimensi dan daya ke-manusia-annya. Karena setan tidak menhendaki manusia menjadi ‘manusia’. Setan menghendaki manusia menjadi ‘hewan’ atau ‘tumbuhan’ yang akan menjadi bahan bakar neraka. Bukankah Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya…”(QS Al-A’raf: 27). Dan firman Allah SWT: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya...” (QS Al-A’raf:20). Sewaktu seseorang melakukan tindak pornografi dan pornoaksi maka secara tidak langsung ia telah menjadikannya dirinya sebagai hamba setan dan menjatuhkan dirinya ke dalam jurang hewani. Bukankah Allah SWT berfirman dalam surah Yasiin ayat 60: “Bukankah Aku Telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (QS Yasiin: 60)?
Oleh sebab itu, di antara solusi yang dapat dilakukan oleh para orang tua ataupun manusia agar terjaga dari efek globalisasi pornografi ialah dengan membekali dan memperkuan keimanan terhadap Pencipta kita, dan memperbaiki “pandangan dunia”, serta menjawab berbagai pertanyaan (seperti: dari mana kita?, ada dimana?, sekarang ada dimana (yang kehidupan dunia hanyalah ladang akhirat, dan bersifat sementara)?). Kita meyajkini –berdasarkan argumen rasional dan tekstual yang dapat kita pelajari dalam kajian Teology- bahwa kehidupan tidak berakhir pada kematian, lantas selesai. Ini tidak seperti halnya yang dikatakan kaum Atheis dan telah disinyalir dan dijawab oleh Qur’an, “Dan mereka berkata: “Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja” (QS al-Jatsiah:24). Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan; hendak kemana? Artinya, karena kita hidup di dunia ini sementara dan akan pergi ke tempat lain maka kita memerlukan bekal untuk pergi ke tempat abadi (akhirat) tadi. Betapa bodohnya orang yang mengetahui hendak bepergian jauh namun ia santai-santai dan tidak mempersiapkan bekal yang diperlukan dalam perjalanan menuju tempat tersebut.
Kembali mengenal “hakikat diri” sebagai manusia dan apa saja yang menjadikan ia dikatakan sebagai manusia adalah merupakan cara lain dalam menghadapi problem ini. Menyadarkan ataupun mengenalkan pada diri kita -dan orang lain- bahwa pada hakekatnya pornografi merupakan tipu daya dan senjata setan untuk menjadikan kita sebagai hambanya. Padahal, ketika di akhirat nanti, setan hendak berlepas tangan dari kita dan ia akan mengatakan; kenapa engkau mengikutiku, wahai manusia? Bukankah aku tidak pernah memaksamu untuk melakukan hal itu? Tanggunglah sendiri hasil perbuatanmu! Allah SWT berfirman: ”Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) Telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah Telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun Telah menjanjikan kepadamu tetapi Aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) Aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca Aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya Aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan Aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (QS Ibrahim: 22).
Langganan:
Komentar (Atom)