Minggu, 03 April 2011

Mungkin ini Cinta

Telah menjadi satu landasan pemikiran, atau bisa dibilang suatu ideologi sederhana, bahwa cinta adalah satu konteks eksistensi yang dapat membahagiakan dan kemudian menyengsarakan setiap pelakunya. Pelaku percintaan atau orang yg mecintai akan semata-mata menganggap bahwa cinta adalah suatu hal yang harus dituntut bagi setiap manusia, dan setelah ia merasakan kegagalan atau akhir yang tidak diinginkan, maka ia akan menyalahkan cinta dan merasa bahwa cinta adalah keterjerumusan.Pada dasarnya pemikiran semacam itu adalah hasil dari kecerobohan manusia, dan keterbatasan pengetahuan dan keyakinan mendasar akan konsep cinta yang telah dipahaminya.
Tuhan pemilik cinta dan pemilik segala keberadaan yang ada telah terlebih dahulu menyadarkan seluruh maujud yang ada, bahwa bisa seluruh keberadaan yang ada. Mungkin ini salah satu satu argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar pemahaman bahwa cinta adalah suatu kemurnian, kebaikan, kebahagiaan, penghangat setiap keadilan dan tuntutan bagi setiap pemilik hati.
Kesengsaraan yang terjadi dalam kehidupan yang didasari oleh cinta, pada hakikatnya adalah kesalahan pemahaman yang fatal. Pelaku cinta telah terhanyut dalam cinta yang salah, cinta yang tidak mengenal tumpuan yang layak, dan yang paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah penggunaan perasaan yang diawali dengan rasa ingin tahu, pengenalan terhadap objek yang akan dijadikan sebagai tujuan cinta, lalu setelah cinta itu timbul di kedua belah pihak, dihancurkan oleh keinginan lain yang datangnya bukan dari cinta. Rasa ingin memiliki adalah satu hal yang paling berperan penting dalam hancurnya kehidupan manusia yang menjadi satu indikasi yang dipandang wajar bahwa itu adalah kesalahan cinta. Mungkin ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar kita tidak menyesali perbuatan mencintai.
1.Tentukan Objek
Yang terpenting dalam tindakan mencintai adalah menentukan objeknya, karena ini juga yang menjadi salah satu faktor bahwa cinta adalah sumber keterpurukan. Yang dicintai dengan segenap raga dan jiwa tidak dapat memberikan kontribusi khusus yang diharapkan yang akhirnya hanya membuahkan penyesalan dan cinta dijadikan sebagai kambing hitam dalam seluruh aspek perasaan yang telah dikorbankan. Hal ini juga menjadi tameng terhadap rasa kecewa, karena target yang akan dicintai telah memenuhi syarat dan telah melampaui batas normal dalam pandangan pecintanya. Target dikehendaki seistimewa mungkin, agar ketika terjadi ketertutupan jalan menuju target, sang pelaku akan senantiasa menganggap dirinya tidak layak untuk mendapatkannya, dan akan senantiasa mengeluarkan segenap potensi dirinya, dan menjadikan dirinya lebih baik dari sebelumnya.
2. Tanpa Pamrih
Pengorbanan yang diatas namakan oleh cinta setidaknya dapat memberikan kepuasan tersendiri terhadap si pengorban tersebut, akan tetapi tidak jarang pula yang meyalahkan cinta karena pengorbanannya tidak terbalaskan dengan apa yang diharapkan. Ketulusan adalah salah satu solusi yang paling efektif untuk mencegah kekecewaan itu. Maka dari itu setiap pelaku harus terlebih dahulu menentukan objek seperti yang telah di paparkan sedikit dibagian sebelumnya. Setidaknya tidak akan ada penyesalan karena si pelaku telah terlebih dahulu meyakini bahwa mencintai adalah kebutuhan dan akan menjadi satu beban tersendiri ketika cintanya tidak tercurahkan kepada kekasihnya.
3. Berfikir positif
Kebanyakan manusia, tidak menjunjung tinggi nilai relevansi. Formalitas dijadikan segalanya. Hal inilah yang menjadikan cinta dipandang sebagai sumber dari kesengsaraan. Mencintai adalah kebutuhan mutlak setiap insan yang berakal dan memiliki hati. Cinta dengan segenap kemurnian dan esensi yang melekat dengan Tuhan, akan mewarnai seluruh ranah permasalahan yang terjadi di muka bumi ini. Ketika sang pelaku cinta mulai mengasihi kekasihnya dengan rasa cinta yang dikemas dengan perhatian, kasih sayang, ucapan-ucapan lembut yang keluar dari bibirnya. Secara tak sadar, ia telah menghibur dirinya dengan itu. Tidak hanya sampai disini, yang terjadi pada kebanyakan pelaku jatuh cinta, menempatkan perasaan-perasaan lain dalam hatinya yang ditujukan terhadap kekasihnya. Sampai disini harus lebih ditegaskan, bahwa ada perasaan-perasaan lain yang datangnya bukan dari cinta melainkan dari hawa nafsu yang menjelma dalam perasaan yang memberitahukan pada akal bahwa ini adalah cinta. Hal-hal semacam itu mengemas dirinya dengan keindahan, mewarnai perasaan dengan harapan-harapan lain, yang nantinya akan menimbulkan rasa ingin memiliki. Sudah semakin jelas, ketika rasa ingin memiliki itu hadir, kemurnian cinta akan hilang dan terkontaminasi. Manisnya perjuangan, kasih sayang, perhatian, dan ucapan-ucapan lembut yang pertama hadirpun akan memudar, karena semuanya tidak didasari oleh cinta. Dan mulailah berfikir positif menghargai cinta sebagai kemurnian mutlak suatu kebahagiaan, dan siap mengatakan bahwa kesengsaraan-kesengsaraan semacam itu datangnya bukan dari cinta, melainkan perasaan-perasaan lain yang menjelma dengan keindahan dan membuat akal tak mampu lagi berfikir dan menumpahkan semua kesalahan ini terhadap cinta.
Ketika diibaratkan, burung yang ada didalam sangkar yang pintu sangkarnya dalam keadaan terbuka karena sang pemilik lupa menutup pintunya, maka kemungkinan buruk yang akan terjadi adalah burung itu akan keluar dan terbang tak tentu arah mengikuti kehendak hati dan hinggap dimanapun tempat yang ia kehendaki tanpa memperhatikan keamanan atau perihal lain yang meliputi tempat hinggapnya si burung tadi. Cinta bukan seperti burung yang sangkarnya lupa ditutup oleh pemilik sangkar.
Cinta adalah aktual, ada, hadir, independen terhadap apapun. Cinta dimiliki oleh setiap pemilik hati, cinta akan hadir jika diminta dan akan hilang ketika yang dicinta sudah tidak layak lagi, dan akan pindah kepada kekasih baru yang layak untuk dicinta. Cinta bukan kepemilikan, melainkan pengorbanan, bukan juga harapan melainkan kesantunan, bukan kesengsaraan melainkan kebutuhan. Curahkan cinta yang ada terhadap yang layak, karena cinta adalah milik kita, bukan milik yang dicinta. Yang kita kasihi hanya merupakan wadah kosong yang indah, lembab dan membutuhkan cinta kita untuk menghiasi wadah tersebut dan ketika suatu waktu wadah tersebut tidak layak lagi untuk dihiasi dengan rasa cinta, kasih sayang, pengorbanan dan hal-hal indah lainnya, maka dengan segenap independensi yang telah Tuhan berikan pada diri kita, kita mampu untuk menarik cinta kita kembali dan memindahkannya sesuai dengan yang kita inginkan dan layak sebagai persinggahan kasih sayang. Semua itu harus didasari oleh pemahaman bahwa cinta yang kita miliki adalah suatu hal yang berharga dan sangat istimewa, dan tentunya kita tidak akan meletakkan cinta ini disembarang tempat, yang nantinya hanya akan merendahkan eksistensi cinta tersebut.

Peran Penting Akal Dalam Konsep Agama

Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman (dalam pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu dilontarkan ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?

Akal dan Iman

Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Akal dan Syariat

Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya: berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.

Batasan-batasan Akal

Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.

Pembelaan Akal terhadap Agama

Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:

1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal secara langsung.

2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.

3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara secara partikular.

4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular, mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.

5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa dipertahankan.

Kebenaran Iman

Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:

1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.

2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu, maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[]


[1] .Surat Yusuf ayat 2[2]. Kulaini juz 1 hal 11

Pornografi dan Pornoaksi merupakan Taktik Setan dalam Mengeluarkan Manusia dari Esensi Ke-manusiaan-nya (Fitrah)

Pro dan konta berkaitan dengan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi telah menimbulkan berbagai dilema dalam kehidupan masyarakat di tanah air kita. Sebagian menyambutnya dengan antusias diberlakukannya UU tersebut. Sebagian lagi menentangnya dan berpendapat bahwa dalam hal ini pemerintah terlalu ikut campur dalam masalah busana dan penampilan kaum hawa.


Jika kita lihat isi undang-undang tersebut maka mayoritas obyeknya berkaitan dengan kamu perempuan. Selain itu, ada opimi bahwa sebenarnya pemerintah dengan adanya UU anti pornografi dan pornoaksi telah berusaha menutupi berbagai permasalahan besar yang sedang terjadi di negara dengan mengalihkan opini publik dari berbagai masalah yang sedang terjadi ke masalah pornografi dan pornoaksi. Walaupun kami sendiri tidak mengetahui secara detail apakah terjadi rekayasa dalam hal ini, karena pabila kita lihat permasalahan di negara kita sekarang ini sangat kompleks sekali. Belum tuntas dari satu permasalahan, permasalahan lain sudah datang lagi.


Tujuan kami sebenarnya bukan untuk mengupas masalah UU anti pornografi dan pornoaksi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pornografi dan pornoaksi semakin marak mewarnai kehidupan zaman sekarang ini, baik yang berkala nasional maupun internasional. Fenomena ini yang telah membuat khawatir para orang tua, yang merupakan salah satu efek negatif globalisasi. Sebenarnya, masalah pornografi dan pornoaksi akan dapat diminimalir dengan membekali diri dan memperkuat dasar-dasar pemikiran, keyakinan dan memperbaiki pandangan hidup terhadap dunia. Dengan disertai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dari diri kita sendiri.


Kita tidak dapat menutup mata dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut berlalu begitu saja tanpa mencari jawaban-jawabannya. Karena pencarian jawaban-jawaban tersebut sangat berpengaruh dalam penentuan nasib hidup, masa depan, kebahagiaan dan kesengsaraan kita. Pertanyaan utama yang yang terlontar dari dalam lubuk kita adalah; “Siapa kita?”, “Kita berasal dari mana?”, “Berada dimana?”, dan “Akan pergi kemana?”. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus dicari jawaban-jawabannya.


Bagaimana tidak, kesengsaraan dan kebahagiaan sejati kita tergantung padanya. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Pemimpin orang-orang yang bertakwa, Imam Ali as yang menyatakan: “Allah akan merahmati orang yang mengetahui dari mana dia berasal (min aena)? Dimana dia berada (fi aina)? Dan hendak kemana dia akan pergi (ila aena)?”. Pertanyaan yang nampak sederhana namun memiliki bobot yang sangat dalam; Darimana kita berasal? Apakah kita ada dengan sendirinya? Ataukah ada yang menciptakan kita? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan kesadaran penuh setiap manusia yang berakal sehat dan berhati bersih. Akal sehat mengatakan bahwa, mustahil sesuatu ada dengan sendirinya tanpa ada yang membuat dan menciptakannya. Jangankan keberadaan manusia yang penuh dengan keajaiban -sehingga salah seorang tokoh pemikir Barat (Alexis Karel) mengatakan bahwa manusia merupakan “Makhluk tak dikenal”- benda sederhana saja seperti sebuah sebuah kursi mustahil akan ada tanpa ada yang membuatnya. Andaikan kita telah mengetahui bahwa diri kita ada karena ada yang menciptakan yaitu Allah SWT, lantas apa konsekwensi yang harus dilakukan oleh makhluk-Nya? Konsekuensinya adalah menuhankan-Nya, dimana bentuk kesempurnaan penuhanan Dzat tersebut adalah pengesaan dan penghambaan mutlak yang mungkin terealisasi dengan berbagai bentuk dan ragam, termasuk pengesaan dalam menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari larangan-Nya.


Di sisi lain, Allah SWT telah menciptakan manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi dan non materi, atau dengan istilah lain;sisi jasmani dan ruhani. Hanya melihat dimensi materi saja manusia tidak dapat dikatakan manusia. Karena benda, tumbuhan dan hewanpun memiliki dimensi ini. Lantas apa keutamaan manusia dari semua itu? Apakah manusia sama dengan semua hal tadi? manusia yang berakal sehat tentu tidak menghendaki dirinya disamakan dengan semua itu tadi. Oleh sebab itu, dalam filsafat Islam dikatakan bahwa, pada diri manusia terdapat berbagai tingkatan-tingkatan daya (baca: potensi); daya tumbuhan (nabati), daya kehewanan (hewani) dan daya ke-insanan (ruh insani). Daya tumbuhan; tumbuhan dikatakan sempurna sawaktu ia tumbuh berkembang dengan baik, pohonnya kuat, daunnya lebat, dahan, akarnya juga kokoh dan berbuah banyak. Jikalau manusia hanya memperhatikan perkembangan fisiknya saja seperti badannya tumbuh berkembang dari sisi tinggi dan berat yang ideal, sehat dan berotot kuat maka tidak ada bedanya dengan pohon. Maka kesempurnaannya hanya hanya terdapat pada sisi perkembangan nabatinya saja. Dan sewaktu manusia hanya memperhatikan masalah yang berkaitan dengan isi perut, pasangan hidup atau pemuasan libido (seks), sibuk memperbanyak keturunan, mencari tempat tinggal yang enak dengan berbagai fasilitas, singkatnya ia hanya berusaha menjadi manusia hedonis maka ia hanya berkembang sempurna pada sisi hewaninya. Karena hewanpun mencari pasangan hidup, memiliki keturunan, mencari tempat nyaman untuk tinggal dan lain sebagainya yang merupakan instink (gharizah) hewani. Begitu juga dengan daya bendawi, seperti bebatuan dimana kesempurnaan batu terdapat pada kekokohannya, atau dari sisi zahirnya saja. Secara global bahwa semua sisi-sisi tadi bukanlah sifat-sifat kesempurnaan khusus bagi manusia, makhluk yang lainpun memilikinya. Lantas apa kesempurnaan khusus yang dimiliki oleh manusia yang tidak akan dimiliki oleh makhluk lain?


Hanya daya dan potensi khusus yang terdapat pada jiwa ke-manusia-an (ruh insani) yang dapat membedakan manusia dari makhluk lainnya, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai manusia. Sementara hakekat ruh insani ini hanya terwujud pada sisi non materi manusia, seperti; daya pikir. Dikarenakan hanya kelompok manusia saja yang dapat berpikir, sementara Allah SWT telah memberikan fasilitas kepadanya berupa akal sebagai sarana untuk berpikir. Dalam ilmu logika dikatakan, ketika mendefinisikan manusia: “Al-insanu hayawun natiq”, manusia adalah hewan (makhluk hidup yang bergerak dengan free-will) yang mampu berpikir. Walaupun secara linguistik kata ‘natiq’ memiliki makna “berbicara”, namun juga dipakai untuk makna “berpikir”. Oleh karenanya dalam penggunaannya kedua makna tersebut dapat dibenarkan. Karena proses berbicara secara sadar harus didahului dengan proses berpikir. Dan hanya manusia saja makhluk yang berbicara dan berpikir. Oleh karenanya, ketika manusia menggunakan daya pikirnya dengan baik maka baru dapat dikatakan sebagai manusia.


Sisi dimensi non materi lain manusia adalah fitrah. Fitrah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Singkatnya, fitrah adalah esensi dasar penciptaan manusia. Fitrah manusia ini dapat terus terjaga selamanya dan menjadi pelita kehidupan manusia, atau mungkin akan mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya ialah faktor lingkungan. Hewan hidup dengan menggunakan instinknya (gharizah), bukan fitrah. Dan fitrah ini memiliki berbagai perwujudannya, yang utama terdapat pada tiga hal; “Cinta kesempurnaan”, “Cinta kebenaran” dan “Cinta kebaikan”, yang semuanya masing-masing memiliki cabang tersendiri. Salah satu dari cabang yang ada adalah fitrah rasa malu yang rasional dan fitri. Fitrah manusia ini dapat terus terjaga selamanya dan menjadi pelita kehidupan manusia, atau mungkin akan mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya ialah faktor eksternal yang mungkin dikarenakan akibat negatif lingkungan yang tidak mendukung.


Ketika manusia memiliki rasa malu yang rasional berarti fitrahnya masih sehat dan belum terpolusi serta tertutup oleh penghalang unsur negatif akibat faktor eksternal. Menutup aurat dan berbusana merupakan fitrah manusia, untuk menutupi rasa malu rasionalnya. Kita dapat melihat hal ini pada Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang merupakan para manusia pertama. Ketika busana mereka terbuka, mereka merasa malu dan lantas menutupinya dengan dedaunan yang ada di surga (eden); “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga…”(QS Thohaa:121) Manusia yang tidak memiliki rasa malu berarti pancaran cahaya fitrahnya telah tertutup dan ia telah keluar dari jiwa kemanusiaannya yang rasional. Olah karenanya ia lebih pantas disebut dengan hewan berbaju manusia, dikarenakan ia tidak dapat menerangi dirinya dengan sorotan cahaya fitrah insaniyahnya. Pornografi dan pornoaksi yang semakin merebak sekarang ini dikarenakan manusia telah melupakan sisi ke-manusiaan-nya dan mengenakan baju hewani yang tidak layak dikenakan oleh makhluk yang bernama manusia. Karena Allah SWT Pencipta manusia ketika menciptakan manusia Ia menghendaki manusia menjadi ‘manusia’ (sempurna), bukan lantas menjadi ‘hewan’, apalagi hanya sekedar menjadi ‘tumbuhan’.


Oleh karena itu, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an, pornografi dan pornoaksi sebagai senjata dan tipu daya setan dalam mengeluarkan manusia dari dimensi dan daya ke-manusia-annya. Karena setan tidak menhendaki manusia menjadi ‘manusia’. Setan menghendaki manusia menjadi ‘hewan’ atau ‘tumbuhan’ yang akan menjadi bahan bakar neraka. Bukankah Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya…”(QS Al-A’raf: 27). Dan firman Allah SWT: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya...” (QS Al-A’raf:20). Sewaktu seseorang melakukan tindak pornografi dan pornoaksi maka secara tidak langsung ia telah menjadikannya dirinya sebagai hamba setan dan menjatuhkan dirinya ke dalam jurang hewani. Bukankah Allah SWT berfirman dalam surah Yasiin ayat 60: “Bukankah Aku Telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (QS Yasiin: 60)?


Oleh sebab itu, di antara solusi yang dapat dilakukan oleh para orang tua ataupun manusia agar terjaga dari efek globalisasi pornografi ialah dengan membekali dan memperkuan keimanan terhadap Pencipta kita, dan memperbaiki “pandangan dunia”, serta menjawab berbagai pertanyaan (seperti: dari mana kita?, ada dimana?, sekarang ada dimana (yang kehidupan dunia hanyalah ladang akhirat, dan bersifat sementara)?). Kita meyajkini –berdasarkan argumen rasional dan tekstual yang dapat kita pelajari dalam kajian Teology- bahwa kehidupan tidak berakhir pada kematian, lantas selesai. Ini tidak seperti halnya yang dikatakan kaum Atheis dan telah disinyalir dan dijawab oleh Qur’an, “Dan mereka berkata: “Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja” (QS al-Jatsiah:24). Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan; hendak kemana? Artinya, karena kita hidup di dunia ini sementara dan akan pergi ke tempat lain maka kita memerlukan bekal untuk pergi ke tempat abadi (akhirat) tadi. Betapa bodohnya orang yang mengetahui hendak bepergian jauh namun ia santai-santai dan tidak mempersiapkan bekal yang diperlukan dalam perjalanan menuju tempat tersebut.


Kembali mengenal “hakikat diri” sebagai manusia dan apa saja yang menjadikan ia dikatakan sebagai manusia adalah merupakan cara lain dalam menghadapi problem ini. Menyadarkan ataupun mengenalkan pada diri kita -dan orang lain- bahwa pada hakekatnya pornografi merupakan tipu daya dan senjata setan untuk menjadikan kita sebagai hambanya. Padahal, ketika di akhirat nanti, setan hendak berlepas tangan dari kita dan ia akan mengatakan; kenapa engkau mengikutiku, wahai manusia? Bukankah aku tidak pernah memaksamu untuk melakukan hal itu? Tanggunglah sendiri hasil perbuatanmu! Allah SWT berfirman: ”Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) Telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah Telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun Telah menjanjikan kepadamu tetapi Aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) Aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca Aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya Aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan Aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (QS Ibrahim: 22).