Rabu, 23 Februari 2011

RUH

Apakah anda pernah mendengar ada manusia bisa terbang ( tanpa pake pesawat )? apakah anda percaya kalau  dalam sekejap seseorang bisa berpindah dari kota Bandung ke kota Jakarta ? Atau ada seseorang dalam satu waktu bisa ada di rumah bersama keluarga dan juga berada di kantor ? Apakah ada manusia yang tidak  terikat oleh ruang dan waktu ?
Anda sepertinya menganggap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan konyol dan tidak masuk akal. Mana mungkin manusia bisa terbang ( memang burung ! ) atau dalam sekejap bisa berpindah dari satu kota ke kota yang lain yang berjauhan dan mustahil seseorang dalam satu saat bisa berada di rumah dan juga di kantor. Manusia hidup di alam yang memiliki aturan-aturan yang mengikat. Manusia tidak bisa terbang karena ia tidak memiliki sayap selain itu manusia juga tidak bisa mengambang di udara, karena akan tertarik oleh daya grafitasi bumi. Atau ketika seseorang hendak pergi dari satu tempat ke tempat yang lain ia harus melewati jarak antara kedua tempat tersebut. Dan atau seseorang ketika berada di suatu tempat ia akan terikat ( hanya ) oleh tempat tersebut dan mustahil ia disaat itu juga berada di tempat yang lain. Ini semua aturan-aturan alam  dan manusia merupakan salah satu penghuni alam ini ( terpaksa ) harus mengikuti aturan tersebut. Di mana pun manusia berada, ia selalu terikat oleh ruang dan waktu.
Anda keliru ! memang benar di alam ini terdapat aturan-aturan yang mengikat seluruh penghuninya termasuk manusia. Akan tetapi anda hanya berbicara dari sisi materi, anda lupa bahwa manusia memiliki dua dimensi; dimenasi materi dan non materi. Terutama anda yang beragama islam, tentu anda meyakini hal itu dan  itu sudah sesutau yang musallam antara kita kaum muslimin. Para ulama juga telah banyak melontarkan argument-argumentnya untuk membuktikan hal itu, baik argumentasi aqli maupun naqlinya, jadi tidak perlu lagi saya bahas hal itu.
Alam nonmateri seperti halnya alam materi memiliki aturan-aturan tersendiri. Ruang dan waktu hanya berlaku di alam materi, sementara di alam non materi tidak. Jauh, dekat,  sekarang, kemarin atau yang akan datang merupakan konsep-konsep benak yang diambil dari hukum-hukum materi. Materi memiliki hukum ‘haalah al-imtidadiah’ ( yang memiliki panjang, lebar dan tinggi ) dan dari sana muncul keterbatasan. Sementara sesutau yang nonmateri memiliki ‘haalah jam’iyah’ ( kebalikan dari haalah imtidadiah ) dan tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan materi keterbatasan.
Lebih jelasnya lagi, masa lalu, jauh, dekat, disana, disini, masa yang akan datang dan jaman sekarang merupakan satu konsep buatan benak dan pikir yang dihasilkan dari  dimensi materi yang merupakan sisi keterbatasan wujud manusia. Karena, wujud kita baik dari segi ‘waktu’ atau dari segi ‘ruang’ merupakan wujud yang terbatas. Artinya, kita berada pada titik tertentu dari ruang dan waktu. Ketebatasan wujud kita dari sisi ruang (contohnya), menghasilkan konsep-konsep seperti  ‘dekat dan jauh’ atau ‘ disana dan disini’ bagi kita. Sementara sisi nonmateri dari wujud kita yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu yang dalam istilah filsafat disebut dengan ‘maa wara a al-tabiah’, konsep seperti jauh dan dekat atau disana dan disini menjadi tidak berarti.
Begitu juga keterbatasan kita dari segi waktu, dengan tergambarkannya konsep-konsep seperti  masal lalu, masa yang akan datang serta jaman sekarang pada benak kita. ‘jaman sekarang’ adalah waktu sebelum kita sekarang dimanapun wujud kita berada. Oleh karenanya, ‘jaman yang lalu’ menurut kita, bagi orang yang hidup satu abad sebelum kita adalah ‘jaman sekarang’ dan bagi orang yang hidup dua abad sebelum kita adalah ‘jaman yang akan datang’. Untuk sisi nonmateri wujud manusia yang tidak terbatas oleh waktu dan jaman, konsep-konsep seperti ini tidaklah berarti. Baginya masa yang akan datang dan masa yang lalu adalah jaman sekarang.
Sisi nonmateri manusia disebut dengan ruh ( sisi ruhani ) yang merupakan sisi lain dari jasad (badan) yang merupakan sisi materinya. Ruh menyatu dengan badan tapi bukan seperti menyatunya gula dengan air, akan tetapi ruh men-taskhir(menguasai) badan sehingga badan hidup. Pada hakekatnya pekerjaan-pekerjaan yang manusia kerjakan adalah pekerjaan ruh seperti  melihat, mendengar… artinya itu semua merupakan tajalli dari ruh. Ruh dan badan masing-masing memiliki aturan dan hukum-hukum sendiri-sendiri dan karena keduanya berada pada manusia, antara hukum materi dan hukum nonmateri terjadi saling tarik dan saling menguasai. Pada sebagian orang karena sisi materinya lebih kuat maka hukum-hukum materi menguasai hukum nonmateri, sehingga yang menonjol dan berlaku pada orang tersebut adalah hukum-hukum materi. Akan tetapi bagi orang yang ruhnya kuat, maka hukum-hukum nonmateri menguasai hukum-hukum materi (badan).
Imam khumaeni pernah berkata: jangan heran kalau suatu saat anda melihat seseorang hanya dengan membaca bismillah, ia bisa terbang. Atau salah seorang arif jaman sekarang berkata : maqam dan kedudukan paling rendah bagi seorang wali adalah ia bisathayyul ardh ( melipat bumi ). Artinya luasnya bumi bagi dia sudah tidak berarti dan sekejap ia bisa ada ditempat yang jauh. Kita juga pernah mendengar dalam suatu riwayat bahwa Imam Ali as. dalam suatu saat ia berada dalam beberapa ( 9 ) tempat. Dalam sejarah disebutkan bahwa Imam Jawad as. dalam penjara ia melakukan shalat dan ibadah semalaman dan bahkan sampai tengah hari ia masih melakukan shalat. Nabi saww. Dan para Imam as. serta para wali Allah, mereka beribadah berjam-jam dari maghrib sampai subuh. Atau dalam satu malam mereka meng-khatam alquran berpuluh-puluh kali.
Apakah anda masih mengatakan mustahil ?! bagi orang-orang yang ruhnya kuat, hukum-hukum, batasan dan ikatan-ikatan materi bagi mereka tidaklah berarti. Bagi kita yang sisi materinya lebih menguasai, maka hukum-hukum inilah yang berlaku bagi kita. Seperti halnya badan ruh juga agar menjadi kuat butuh kepada makanan dan latihan. Makanan ruh adalah ibadah dan ilmu. Semakin banyak kita beribadah maka ruh kita akan semakin kuat dan hukum-hukumnya akan semakin menonjol. Nabi saww., para Imam as. serta para wali Allah, mereka adalah ahli ibadah dan ahli ilmu. Banyak terdapat hadist dan riwayat yang menganjurkan kita untuk beribadah dan mendalami ilmu, sehingga ruh kita menjadi kuat. Bahkan dalam satu hadist (qudsi) di riwayatkan: “ Allah berfirman: HambaKu beribadahlah kepadaku, maka aku akan jadikan kalian sepertiKu; Aku hidup dan tidak mati, maka Akupun akan menjadikanmu hidup dan tidak mati… “
RUH MENURUT PARA FILUSUF DAN ‘URAFA ISLAM
 Berbeda dengan pendapat sebagian ilmuan barat yang meyakini bahwa ruh merupakan perkara nisbi, seperti kekuatan yang berada pada jam. Ketika semua bagian-bagian jam lengkap dan teratur dengan benar, maka jam pun ‘hidup’. Akan tetapi ketika ada bagian jam yang kurang atau susunan yang tidak teratur, maka jam pun ‘mati’ dan tidak ada wujud lain (ruh) selian itu. Seperti halnya jam, tidak memiliki ruh manusia pun demikian. Para ulama islam meyakini bahwa ruh merupakan wujud mustakil ( berbeda ) dari wujud jism dan badan.
Ibnu Sina
 Ibnu Sina tentang masalah nafs dan ruh berpendapat bahwa unsur-unsur asli wujud-wujud alam menyatu lewat bantuan quwwah falakidan muncullah jism-jism yang berbeda-beda seperti batu, tanah, besi dan lain-lain. Semakin seimbang susunan unsur-unsur tersebut maka jism yang lebih tinggi akan muncul darinya. Seperti ketika susunan unsur-unsur pada benda mati semakin seimbang maka akan berubah menjadi tumbuhan, terus naik menjadi hewan yang memiliki irodah dan pengetahuan juz’i. Karena terus berkembang dan semakin seimbang maka dari tahapan hewan berubah menjadi tahapan manusia, dimana selain memiliki panca indra yang dimiliki hewan, ia juga memiliki daya idrak (pengetahuan/pikir) kulli serta memiliki daya pikir, irodah  khusus dimana pribadi,  hakekat serta kelebihan manusia dari hewan yang disebut dengan ruh. Walaupun ia menggunakan istilah-istlah yang berlainan tentang ruh, akan tetapi yang dimaksud oleh Ibnu Sina tentang ruh adalah daya idrak. Menurut ia, karena daya idrak berderajat  maka kekuatan ruh pada manusia pun berderajat; pada sebagian manusia kuat dan pada sebagian yang lain lemah.
Mulla Sadra
 Menurut pendapat Mulla Sadra, awal tahapan  pada ruh adalah tahapan-tahapan jism, lalu secara bertahap naik sehingga sampai kepada tahapan his (indra), khayaliwahmi hingga sampai kepada tahapan aql (akal). Dari akal ‘amali menuju ke akal nadhari dan melalui tahapan yang ada pada akal nadhari hingga sampai kepada tahapan terakhir dari akal adalah tahapan akal fa’aal. Akal ini merupakan tahapan yang paling sempurna dari tahapan akal dan ruh yang dalam firman Tuhan disebutkan : “ Dan kami hembuskan di dalamnya dari ruh-Ku “ ( Al-Hijr, ayat : 29 ). Ayat ini menunjukan kedudukan tinggi dari ruh, dan ketika ruh sudah sampai kepada tahapan aql (akal) maka selama akan tatap kekal. Dengan penjelasan; Ketika manusia hendak melihat, mendengar atau merasa  maka manusia butuh kepada mata, telinga dan daya rasa. Atau ketika hendak menggambarkan sesuatu maka ia butuh kepada daya khayali atau daya wahmi ( pada makna-makna yang juz’I ). Akan tetapi ketika ingin memahami makna-makan kulli tidak butuh kepada daya apapun baik yang dhahir maupun bathin. Karena hekekat manusia memiliki kelebihan akal dan idrak insani yang terilhami dari aqli kul.
Dari penjelasan ini, Mulla Sadra meyakini kaidah ‘jimaniatul huduts wa rehaniatul baqa’ artinya, ruh manusia dari awal penciptaan sampai akhir harus melewati tahapan, maqam dan derajat-derajat yang bermacam-macam hingga akhirnya ruh tidak lagi butuh kepada badan. Dengan kata lain ruh pada tahapan awal adalah berupa substansi jism hingga akhirnya berkembang dan menyempurna dan sampai kepada tahapan tajarrud ( menjadi nonmateri ). Ketika sudah sampai kepada tahapan tajarrud dia tidak akan mati akibat matinya badan dan akan tetap kekal. Manusia pada awalnya berada di alam materi dan tabiat alam, terikat oleh hukum-hukum materi, kemudian sampai kepada tahap khayali dan wahmihingga kahirnya sampai kepada derajat aql, menjadi nonmateri dan kekal. Seperti yang digambarkan dalam alquran: “  Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.  Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” ( Al-Mu’minun ayat : 12-16 )
Para ‘Urafa
 Para ‘urafa dan sebaiah filusuf berkeyakinan bahwa ruh sebelum berhubungan dengan badan materi ia berada di alam tajarrud, di atas tabiat dan berdiri sendiri. Ruh pada tahapan ini mengetahui segala sesuatu, akan tetapi setelah datang ke alam materi yang merupakan akhir dan paling rendahnya derajat wujud, karena ia terpenjara oleh badan materi maka semua pengetahuannya menjadi hilang. Dan lewat belajar, otak manusia mengingat ilmu-ilmu dasar dan fitri ini serta menemukan sesuatu yang hilang tersebut. Seperti yang diungkap oleh Ghazali dalam bukunya ‘Ihya ‘Ulumuddin’ : “Belajar tidak lain adalah kembalinya jiwa kepada substansinya untuk mengeluarkan apa yang ada didalamnya.”
Para ‘urafa berpendapat bahwa ruh merupakan wujud yang aktif di alam barzah dan alam malakut dalam jism-jism yang lebih latif(halus). Setelah  turun ke alam materi, ia kembali melakukan shu’ud(naik) dan setelah manusia meninggal ia tinggal untuk beberapa saat dengan bersama jism-jism latif. Sebagian para ‘urafa meyakini adanya ruh kulli dan nafs mutlak.
Di akhir makalah ini akan disinggung secara singkat pendapar para filusuf berkenaan dengan kematian; Ibnu Sina meyakini kematian adalah akibat hancurnya susunan jism yang merupakan rumah bagi ruh, oleh karena itu ruh pun pergi. Mulla Sadra meyakini sebaliknya, karena ruh pergi maka jism yang merupakan rumah dari ruh pun akhirnya menjadi rusak. Sementar Suhrawardi berkeyakinan, karena mizaj ( keseimbangan unsur-unsur badan seperti air, tanah, udara dan api ) rusak, maka ruh pun meninggalkan rumahnya.

Ditulis dalam Kajian pada 2:33 am06 oleh iwan

MENGENAL KESEMPURNAAN MANUSIA [II]

TAHAPAN PERTAMA -MENEMUKAN DIRI

Imam Ali as bekata : "Aku heran kepada orang yang manakala kehilangan benda miliknya, dia bersegera mencarinya, tetapi manakala diri insaninya hilang, dia enggan mencarinya" (Mizan al-Hikmah 6 : 141).

Manusia yang kehilangan nafs (diri)-nya adalah manusia yang kehilangan diri insaninya, manusia yang kehilangan kesadarannya. Mereka ini adalah orang-orang yang nafs-nya ditarik oleh kecederungan duniawinya. Mereka lebih menghargai nilai-nilai duniawi daripada nilai-nilai spiritual (ruhani). Imam Ali as mengatakan : Ahlud dunya karakbin yusaru bihim wa hum niyâm - para ahli duniawi itu seperti pengendara yang berjalan dengan kendaraannya sementara mereka tertidur (Nahjul Balaghah, Hikam 64). Ini artinya bahwa para pecinta dunia adalah orang-orang yang telah kehilangan kesadarannya. Mereka terjebak oleh rutinitas hidup yang cenderung duniawi atau lebih tepatnya hidup sekadar memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani belaka. Padahal pusat dari diri insani manusia berada pada kesadarannya, yaitu kesadaran insani yang melampaui kesadaran hewani, kesadaran yang melibatkan esensi dan seluk beluk dari obyek kesadarannya. Kesadaran ini mampu melampaui kesadaran lingkungan yang hanya diperoleh melalui indera jasadi. Kesadaran ini juga mampu untuk melakukan generalisasi sehingga melampaui batasan-batasan lingkungannya. Kesadaran insani tidak bergantung pada kekinian dan mampu memperhitungkan masa mendatangnya, sehingga sanggup mengubah sejarah. Inilah bentuk kesadaran yang membedakan nafs (diri) insani dari nafs (diri) hewani.

Perubahan-perubahan nafs dari nafs hewani ke nafs insani dapat digambarkan sebagai suatu perjalanan atau pendakian dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan atau dari kelalaian menuju kepada ingatan dan kesadaran. "Janganlah kamu termasuk orang yang melupakan Allah lantas Allah menjadikan mereka lupa akan dirinya sendiri" (QS 59 : 19; "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan mendaki lagi sukar !" (QS 90 : 10-11).

Realitas manusia meskipun tunggal, tetapi memiliki indra-indra dan dimensi yang majemuk. Kesatuan manusia terletak pada kesadarannya yang diarahkan pada satu arah, yaitu Ruh Ilahi, sementara kemajemukannya berkaitan dengan jasad yang memiliki banyak sisi dan bagian.

Ruh Allah digambarkan sebagai pusat lingkaran sementara sekelilingnya adalah jasad. Nafs yang ditarik oleh kecenderungan jasadi sehingga berpaling dari pusat kepada sekelilingnya membuat nafs menyebar dan terpecah-pecah. Keadaan nafs yang terpecah-pecah inilah yang disebut hilangnya kesadaran. Sebaliknya, jika nafs mengarah kepada pusat lingkaran atau sumbernya sendiri (Ruh Ilahi), ia menjadi menyatu dan menyeluruh dalam kesatuan. Ingatan dan kesadaran yang penuh berada dalam keadaan seperti ini (Sachiko Murata, The Tao of Islam, edisi terjemahan, hal.333).


TAHAPAN KEDUA - MEMBEBASKAN DIRI

Imam Ali as berkata : "Manusia di dunia ini terbagi menjadj dua : yang pertama adalah mereka yang datang ke (pasar) dunia ini dan menjual dirinya sehingga menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar ini dan menjadikannya merdeka." (Nahjul Balaghah).

Orang yang menjual dirinya adalah orang-orang yang terampas kesadarannya sehingga ia kehilangan dirinya. Orang ini menyerahkan kebebasannya kepada orang lain, karenanya Imam mengatakan orang ini telah menjadikan dirinya budak ! Budak bagi kecenderungan-kecenderungan jasadnya. Sementara orang yang membeli dirinya menjadi orang yang merdeka dan terbebaskan ! Ini juga berarti bahwa kebebasan dan kemerdekaan tidak bisa tidak harus diperjuangkan dan tidak bisa diperoleh secara cuma-cuma. Sebelum ia membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu kecenderungan jasadi, pertama-tama sekali ia menemukan diri sejatinya. Ia harus mendapatkan kesadaran dari penemuan akan diri sejatinya itu. Kesadaran inilah yang nantinya akan mengantarkannya kepada upaya pembebasan !

Salah satu tugas para nabi adalah membuang beban dan belenggu dari manusia ! "...yang membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka" (QS 7 : 157).

Contoh yang paling indah tentang usaha pembebasan nafs ini digambarkan Alquran mengenai perdebatan Nabi Ibrahim as dengan kaumnya : "Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali kepadanya. Mereka berkata : "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim ?" Mereka berkata : "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim". Mereka berkata : "(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan". Mereka bertanya : "Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim ?" Ibrahim menjawab : "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepadanya jika mereka dapat berbicara !" Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka..." (QS. Al-Anbiyâ : 58-64). Alquran megatakan dengan indahnya : "Faraja'û ilâ anfusihîm", "maka mereka kembali kepada diri mereka sendiri !", bahwa pada detik dan saat itu orang-orang yang berdebat dengan Ibrahim menemukan kembali diri mereka sendiri ! (Murtadha Muthahhari, Haula al-Tsaurah al-Islamiyyah, hal. 3).

Penemuan diri kaum Ibrahim diperoleh melalui proses berpikir, walaupun setelah itu mereka mengabaikan penemuan dirinya, itu soal lain. Paulo Freire di dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas membagi pemikir menjadi dua : pemikir naif dan pemikir kritis. Bagi pemikir naif, yang penting hanyalah membagi tempat bagi hari ini, sebaliknya bagi pemikir kritis, yang penting adalah adalah kelanjutan dari perubahan realitas, kelanjutan dari proses pembebasan ! " Sesungguhnya Allah tidak akan mereformasi suatu kaum sehingga mereka mereformasi diri (nafs) mereka sendiri." (QS Ar-Râ'du : 11). Perubahan eksternal tidak dapat terwujud sebelum perubahan internal diwujudkan. Mungkin inilah yang dimaksud bahwa kebebasan tidak bisa diperoleh begitu saja, kebebasan harus diperjuangkan dengan segenap keteguhan hati. Dengan kata lain, seseorang harus kembali kepada pusat kesadarannya dan menjaganya agar tetap di sana. Selama seseorang memiliki kesadaran akan dirinya, keinginan dan kehendak untuk bebas merdeka akan terus mengusik nafs-nya.


Kisah Abu Dzarr Al-Ghiffari

Ketika Khalifah Utsman bin Affan gagal dalam usahanya membungkam protes dan kritik pedas dari Abu Dzarr ra atas kebijakan-kebijakan politiknya, akhirnya ia membuang Abu Dzarr ke Damaskus. Akan tetapi di Damaskus pun Abu Dzarr membut pejabat setempat gelisah dan menjadi gusar bukan main. Mu'awiyah yang menjabat gubernur di sana mengeluhkannya kepada Khalifah Utsman, sehingga Utsman kemudian mengirimkan budaknya kepada Abu Dzarr dengan membawa sekantung penuh uang dan berjanji akan membebaskan budaknya itu jika ia sanggup meyakinkan Abu Dzarr untuk menerima uang itu. Budak yang bermulut licin itu menemui Abu Dzarr, namun Abu Dzarr tidak goyah sedikitpun. Bahkan bertanya uang siapakah itu dan mengapa ditawarkan kepadanya, ia juga bertanya uang siapakah itu dan mengapa ditawarkan kepadanya. Ia juga bertanya apakah orang lain juga diberi sebagaimana dirinya. Abu Dzarr dengan tegas menolak pemberian uang tersebut. Budak itupun mulai putus asa dan akhirnya ia mencoba menggugah perasaan religius Abu Dzarr : "Tidakkah engkau ingin membebaskan budak ?" "Ya, tentu," jawab Abu Dzarr. "Saya adalah seorang budak Utsman, dan ia berjanji akan membebaskan saya, jika Anda menerima uang ini. Oleh karena itu, lakukanlah itu demi saya," kata budak itu. Abu Dzarr menjawab, "Saya sangat menginginkan kebebasanmu, tetapi jika saya menerima uang ini, Anda akan mendapatkan kebebasan Anda, sementara saya akan menjadi seorang budak Utsman (Murtadha Muthahhari, The Unschooled Prophet). Mungkin ini salah satu bentuk money politik ? Terlepas dari itu semua, kita melihat bahwa Abu Dzarr bisa menjadi contoh yang baik. Ia tidak rela menjual harga dirinya dengan nilai-nilai materi. Ia juga tidak rela dibeli oleh siapapun ! Ini merupakan contoh dari seorang manusia merdeka dan terbebaskan !


Kesadaran Ilahiyah

Kesadaran untuk merdeka dari ikatan-ikatan materi, jasadi, dan duniawi diperoleh oleh mereka yang telah menemukan asal dan tujuan dari keberadaannya. Imam Ali as berkata : "Semoga Tuhan memberkahi orang yang tahu darimana ia datang, di mana ia berada sekarang, dan ke mana ia akan pergi" (Muthahhari, Human Being in the Qur'an). Alquran sendiri mengatakan : Innâ lillâhi wa innâ ilaihi raji'ûn - sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.

Kesadaran akan asal diri membuat manusia sadar bahwa keberadaannya harus dinilai dari sisi insaniyyah-nya, bukan dari basyariyyah (fisik)-nya. Sisi insaniyyah-nyalah yang membawanya pada kemuliaan. Dan karena alasan ini pulalah manusia harus berusaha membebaskan nafs-nya dari tarikan jasad atau duniawinya. Memang tak bisa diingkari bahwa tarikan jasadi atau duniawi sangatlah kuat, karena manusia adalah anak-anak dunia, Imam Ali as mengatakan : "Manusia adalah anak dunia dan seseorang tak bisa disalahkan karena mencintai ibunya" (Nahjul Balaghah, Hikam 313).

Hal ini dimaksudkan bahwa manusia harus disapih, ia harus biasa dan bisa memisahkan diri dari ibunya. Ia tidak boleh terus menetek dan bergantung kepada susu ibunya. Ia mesti berjuang dan berjuang untuk membebaskan dirinya dari keterikatan dan kebergantungan yang berlebihan kepada ibunya yaitu dunia. Perjuangan ini mesti ia lakukan agar ia sanggup menjadi manusia merdeka, menjadi Insan Sejati !


TAHAPAN KETIGA - MENAKLUKKAN DIRI (JIHAD AL-NAFS)

Berbeda dengan maujud-maujud lainnya, manusia adalah maujud yang dapat terpisah dari keinsanannya. Jika kita tak dapat memisahkan batu sifat ke-batu-an dari sebongkah batu dan tidak bisa memisahkan sifat ke-kucing-an dari seekor kucing atau sifat ke-harimau-an dari seekor harimau, sebaliknya manusia justru harus bersusah payah mewujudkan ke-insan-an pada dirinya. Manusia harus berjihad dan berperang terhadap nafs-nya untuk menjadi manusia yang utuh. Ia mesti menaklukkan nafs hewani-nya karena kecenderungan-kecenderungan hewaninya ini merupakan musuhnya yang terbesar. Jika ia tidak berjuang menaklukkan musuhnya ini, ia tidak berbeda dengan hewan.

"Musuhmu yang paling berbahaya adalah musuhmu yang ada di antara dua sisimu (lambungmu)" (Al-Bihar 70 : 64).

Imam Musa al-Kazhim as berkata : "Berjihadlah atas nafs (diri)-mu untuk menolaknya dari hawa (nafs)-nya karena sesungguhnya itu merupakan kewajiban atasmu sebagaimana berjihad terhadap musuhmu !" (Al-Bihar 78 : 315).

Seperti terhadap urusan-urusan duniawi, kitapun harus membuat program untuk melatih diri kita daam rangka menaklukkan atau menjinakkan nafs kita agar terkendali. Tanpa riyadhah (latihan dan disiplin) kita hanya akan menjadi makhluk yang tiada berbeda dengan hewan. Rutinitas kita di dalam urusan-urusan duniawi tidak akan meningkatkan nilai nafs kita. Kita tidak akan terangkat menjadi Insan Ilahiyah, manusia yang berjiwa ketuhanan.

Mungkin Imam Ali as bisa menjadi contoh insan yang telah berhasil menaklukkan diri (nafs)-nya, yaitu ketika beliau berperang tanding melawan musuhnya. Ketika musuhnya terjatuh, Imam segera mengayunkan pedangnya, namun sebelum Imam menggerakkan pedangnya, musuhnya meludahi wajah beliau. Wajah Imam Ali memerah karena marah. Namun yang mengejutkan musuhnya, Imam justru berbalik mengurungkan niat untuk membunuhnya. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat beliau bertanya kepada Imam : "Mengapa Anda tidak jadi membunuhnya ?" Imam menjawab, "Pada awalnya aku berperang demi Tuhanku, tetapi ketika lelaki itu meludahi wajahku, kemarahanku telah mengubah niatku itu, aku marah bukan karena-Nya lagi, karena itu kuurungkan niatku untuk membunuhnya. Aku takut jika aku membunuhnya bukan karena Allah tetapi karena diriku semata !" Suatu sosok pribadi yang mulia telah memberikan contoh yang begitu menarik untuk direnungi. "Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami" (QS Al-Ankabût : 69).


TAHAPAN KEEMPAT - MEMFANAKAN DIRI

Memfanakan diri atau meniadakan diri adalah upaya untuk hijrah dari rumah kedirian (ego). Ini tahapan tertinggi di dalam jenjang (maqam) para sufi. Biasanya setelah ini para sufi akan sirna dalam Allah (Wahdat al-Wujud). Pada saat ini kita masih terperangkap dalam kedirian kita yang teramat gelap. Kita masih berputar-putar dalam keinginan-keinginan diri kita semata. Apapun yang kita inginkan, kita menginginkan untuk diri kita sendiri. Pandangan dan pikiran-pikiran kita hanya terpaku pada kepentingan-kepentingan dunia belaka. Karena itu tahapan ini seseorang harus rela menanggalkan cinta diri dan cinta dunia. Ia harus meneladani Nabi Musa as yang hendak menghadap Tuhannya. Allah Swt berfirman : "Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci. Thuwa !" (QS Thaha : 12). Sebagian ahli 'irfan menakwilkan kedua terompah sebagai diri dan dunia. Karena itu di kalangan para arif ada golongan khala' al-na'lain (melepaskan kedua terompah). Diri merupakan berhala terbesar. Betapa sering kita senang mendengar jika kita dipuji-puji orang. Kita selalu melakukan kebaikan atau amal saleh hanya jika itu mendatangkan keuntungan bagi kita dan pada saat yang sama pula kita menolak kebenaran dan kebaikan jika itu tidak mendatangkan keuntungan pada diri kita. Semua tindak tanduk kita terpusatkan pada diri kita sendiri. Bahkan kepedulian dan perhatian kita kepada orang lain hanya muncul apabila itu mendatangkan keuntungan bagi kita. Mungkin inilah yang dinamakan egoisme, yang menarik seseorang kepada keinginan-keinginan diri sendiri semata.

Manusia memang memerlukan tangan-tangan gaib untuk dapat membebaskannya dari kuil diri atau dari penyembahan diri yang tiada disadarinya. Tangan-tangan gaib itu adalah para nabi dan para wali-Nya yang suci. Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah hadis Nabi Saww. Seseorang bernama Majasyi' datang kepada Rasulullah Saww dan bertanya kepada beliau : "Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju pengenalan kepada Allah (al-Haqq) ?" Rasul Saww menjawab : "Pengenalan diri". Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara menyesuaikan diri dengan Allah ?" Rasulullah Saww menjawab : "Menyelisihi (nafs) ego". Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju keridhaan Allah ?" Jawab Nabi : "Membenci ego." Dia bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara untuk sampai kepada Allah?" Jawab Nabi : "Hijrah dari ego." Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah bagaimana jalan untuk taat kepada Allah". Jawab Nabi : "Menentang ego". Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara berzikir kepada Allah ?" jawab Nabi : "Melupakan ego."

Dia bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara mendekat kepada Allah ?" Jawab Nabi : "Menjauhi ego."

Dia bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara berakraban dengan Allah ?" Nabi menjawab : "Melepaskan diri dari ego."

Akhirnya orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mencapai-Nya ?" Rasulullah saww menjawab : "Memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengatasi ego." (Mizan al-Hikmah 6 : 142-143). []



Oleh: Quito R. Motinggo
http://www.alhassanain.com/

MENGENAL NAFS (II) : EMPAT TAHAPAN MENCAPAI KESEMPURNAAN NAFS

TAHAPAN PERTAMA -MENEMUKAN DIRI

Imam Ali as bekata : "Aku heran kepada orang yang manakala kehilangan benda miliknya, dia bersegera mencarinya, tetapi manakala diri insaninya hilang, dia enggan mencarinya" (Mizan al-Hikmah 6 : 141).

Manusia yang kehilangan nafs (diri)-nya adalah manusia yang kehilangan diri insaninya, manusia yang kehilangan kesadarannya. Mereka ini adalah orang-orang yang nafs-nya ditarik oleh kecederungan duniawinya. Mereka lebih menghargai nilai-nilai duniawi daripada nilai-nilai spiritual (ruhani). Imam Ali as mengatakan : Ahlud dunya karakbin yusaru bihim wa hum niyâm - para ahli duniawi itu seperti pengendara yang berjalan dengan kendaraannya sementara mereka tertidur (Nahjul Balaghah, Hikam 64). Ini artinya bahwa para pecinta dunia adalah orang-orang yang telah kehilangan kesadarannya. Mereka terjebak oleh rutinitas hidup yang cenderung duniawi atau lebih tepatnya hidup sekadar memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani belaka. Padahal pusat dari diri insani manusia berada pada kesadarannya, yaitu kesadaran insani yang melampaui kesadaran hewani, kesadaran yang melibatkan esensi dan seluk beluk dari obyek kesadarannya. Kesadaran ini mampu melampaui kesadaran lingkungan yang hanya diperoleh melalui indera jasadi. Kesadaran ini juga mampu untuk melakukan generalisasi sehingga melampaui batasan-batasan lingkungannya. Kesadaran insani tidak bergantung pada kekinian dan mampu memperhitungkan masa mendatangnya, sehingga sanggup mengubah sejarah. Inilah bentuk kesadaran yang membedakan nafs (diri) insani dari nafs (diri) hewani.

Perubahan-perubahan nafs dari nafs hewani ke nafs insani dapat digambarkan sebagai suatu perjalanan atau pendakian dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan atau dari kelalaian menuju kepada ingatan dan kesadaran. "Janganlah kamu termasuk orang yang melupakan Allah lantas Allah menjadikan mereka lupa akan dirinya sendiri" (QS 59 : 19; "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan mendaki lagi sukar !" (QS 90 : 10-11).

Realitas manusia meskipun tunggal, tetapi memiliki indra-indra dan dimensi yang majemuk. Kesatuan manusia terletak pada kesadarannya yang diarahkan pada satu arah, yaitu Ruh Ilahi, sementara kemajemukannya berkaitan dengan jasad yang memiliki banyak sisi dan bagian.

Ruh Allah digambarkan sebagai pusat lingkaran sementara sekelilingnya adalah jasad. Nafs yang ditarik oleh kecenderungan jasadi sehingga berpaling dari pusat kepada sekelilingnya membuat nafs menyebar dan terpecah-pecah. Keadaan nafs yang terpecah-pecah inilah yang disebut hilangnya kesadaran. Sebaliknya, jika nafs mengarah kepada pusat lingkaran atau sumbernya sendiri (Ruh Ilahi), ia menjadi menyatu dan menyeluruh dalam kesatuan. Ingatan dan kesadaran yang penuh berada dalam keadaan seperti ini (Sachiko Murata, The Tao of Islam, edisi terjemahan, hal.333).


TAHAPAN KEDUA - MEMBEBASKAN DIRI

Imam Ali as berkata : "Manusia di dunia ini terbagi menjadj dua : yang pertama adalah mereka yang datang ke (pasar) dunia ini dan menjual dirinya sehingga menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar ini dan menjadikannya merdeka." (Nahjul Balaghah).

Orang yang menjual dirinya adalah orang-orang yang terampas kesadarannya sehingga ia kehilangan dirinya. Orang ini menyerahkan kebebasannya kepada orang lain, karenanya Imam mengatakan orang ini telah menjadikan dirinya budak ! Budak bagi kecenderungan-kecenderungan jasadnya. Sementara orang yang membeli dirinya menjadi orang yang merdeka dan terbebaskan ! Ini juga berarti bahwa kebebasan dan kemerdekaan tidak bisa tidak harus diperjuangkan dan tidak bisa diperoleh secara cuma-cuma. Sebelum ia membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu kecenderungan jasadi, pertama-tama sekali ia menemukan diri sejatinya. Ia harus mendapatkan kesadaran dari penemuan akan diri sejatinya itu. Kesadaran inilah yang nantinya akan mengantarkannya kepada upaya pembebasan !

Salah satu tugas para nabi adalah membuang beban dan belenggu dari manusia ! "...yang membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka" (QS 7 : 157).

Contoh yang paling indah tentang usaha pembebasan nafs ini digambarkan Alquran mengenai perdebatan Nabi Ibrahim as dengan kaumnya : "Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali kepadanya. Mereka berkata : "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim ?" Mereka berkata : "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim". Mereka berkata : "(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan". Mereka bertanya : "Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim ?" Ibrahim menjawab : "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepadanya jika mereka dapat berbicara !" Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka..." (QS. Al-Anbiyâ : 58-64). Alquran megatakan dengan indahnya : "Faraja'û ilâ anfusihîm", "maka mereka kembali kepada diri mereka sendiri !", bahwa pada detik dan saat itu orang-orang yang berdebat dengan Ibrahim menemukan kembali diri mereka sendiri ! (Murtadha Muthahhari, Haula al-Tsaurah al-Islamiyyah, hal. 3).

Penemuan diri kaum Ibrahim diperoleh melalui proses berpikir, walaupun setelah itu mereka mengabaikan penemuan dirinya, itu soal lain. Paulo Freire di dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas membagi pemikir menjadi dua : pemikir naif dan pemikir kritis. Bagi pemikir naif, yang penting hanyalah membagi tempat bagi hari ini, sebaliknya bagi pemikir kritis, yang penting adalah adalah kelanjutan dari perubahan realitas, kelanjutan dari proses pembebasan ! " Sesungguhnya Allah tidak akan mereformasi suatu kaum sehingga mereka mereformasi diri (nafs) mereka sendiri." (QS Ar-Râ'du : 11). Perubahan eksternal tidak dapat terwujud sebelum perubahan internal diwujudkan. Mungkin inilah yang dimaksud bahwa kebebasan tidak bisa diperoleh begitu saja, kebebasan harus diperjuangkan dengan segenap keteguhan hati. Dengan kata lain, seseorang harus kembali kepada pusat kesadarannya dan menjaganya agar tetap di sana. Selama seseorang memiliki kesadaran akan dirinya, keinginan dan kehendak untuk bebas merdeka akan terus mengusik nafs-nya.


Kisah Abu Dzarr Al-Ghiffari

Ketika Khalifah Utsman bin Affan gagal dalam usahanya membungkam protes dan kritik pedas dari Abu Dzarr ra atas kebijakan-kebijakan politiknya, akhirnya ia membuang Abu Dzarr ke Damaskus. Akan tetapi di Damaskus pun Abu Dzarr membut pejabat setempat gelisah dan menjadi gusar bukan main. Mu'awiyah yang menjabat gubernur di sana mengeluhkannya kepada Khalifah Utsman, sehingga Utsman kemudian mengirimkan budaknya kepada Abu Dzarr dengan membawa sekantung penuh uang dan berjanji akan membebaskan budaknya itu jika ia sanggup meyakinkan Abu Dzarr untuk menerima uang itu. Budak yang bermulut licin itu menemui Abu Dzarr, namun Abu Dzarr tidak goyah sedikitpun. Bahkan bertanya uang siapakah itu dan mengapa ditawarkan kepadanya, ia juga bertanya uang siapakah itu dan mengapa ditawarkan kepadanya. Ia juga bertanya apakah orang lain juga diberi sebagaimana dirinya. Abu Dzarr dengan tegas menolak pemberian uang tersebut. Budak itupun mulai putus asa dan akhirnya ia mencoba menggugah perasaan religius Abu Dzarr : "Tidakkah engkau ingin membebaskan budak ?" "Ya, tentu," jawab Abu Dzarr. "Saya adalah seorang budak Utsman, dan ia berjanji akan membebaskan saya, jika Anda menerima uang ini. Oleh karena itu, lakukanlah itu demi saya," kata budak itu. Abu Dzarr menjawab, "Saya sangat menginginkan kebebasanmu, tetapi jika saya menerima uang ini, Anda akan mendapatkan kebebasan Anda, sementara saya akan menjadi seorang budak Utsman (Murtadha Muthahhari, The Unschooled Prophet). Mungkin ini salah satu bentuk money politik ? Terlepas dari itu semua, kita melihat bahwa Abu Dzarr bisa menjadi contoh yang baik. Ia tidak rela menjual harga dirinya dengan nilai-nilai materi. Ia juga tidak rela dibeli oleh siapapun ! Ini merupakan contoh dari seorang manusia merdeka dan terbebaskan !


Kesadaran Ilahiyah

Kesadaran untuk merdeka dari ikatan-ikatan materi, jasadi, dan duniawi diperoleh oleh mereka yang telah menemukan asal dan tujuan dari keberadaannya. Imam Ali as berkata : "Semoga Tuhan memberkahi orang yang tahu darimana ia datang, di mana ia berada sekarang, dan ke mana ia akan pergi" (Muthahhari, Human Being in the Qur'an). Alquran sendiri mengatakan : Innâ lillâhi wa innâ ilaihi raji'ûn - sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.

Kesadaran akan asal diri membuat manusia sadar bahwa keberadaannya harus dinilai dari sisi insaniyyah-nya, bukan dari basyariyyah (fisik)-nya. Sisi insaniyyah-nyalah yang membawanya pada kemuliaan. Dan karena alasan ini pulalah manusia harus berusaha membebaskan nafs-nya dari tarikan jasad atau duniawinya. Memang tak bisa diingkari bahwa tarikan jasadi atau duniawi sangatlah kuat, karena manusia adalah anak-anak dunia, Imam Ali as mengatakan : "Manusia adalah anak dunia dan seseorang tak bisa disalahkan karena mencintai ibunya" (Nahjul Balaghah, Hikam 313).

Hal ini dimaksudkan bahwa manusia harus disapih, ia harus biasa dan bisa memisahkan diri dari ibunya. Ia tidak boleh terus menetek dan bergantung kepada susu ibunya. Ia mesti berjuang dan berjuang untuk membebaskan dirinya dari keterikatan dan kebergantungan yang berlebihan kepada ibunya yaitu dunia. Perjuangan ini mesti ia lakukan agar ia sanggup menjadi manusia merdeka, menjadi Insan Sejati !


TAHAPAN KETIGA - MENAKLUKKAN DIRI (JIHAD AL-NAFS)

Berbeda dengan maujud-maujud lainnya, manusia adalah maujud yang dapat terpisah dari keinsanannya. Jika kita tak dapat memisahkan batu sifat ke-batu-an dari sebongkah batu dan tidak bisa memisahkan sifat ke-kucing-an dari seekor kucing atau sifat ke-harimau-an dari seekor harimau, sebaliknya manusia justru harus bersusah payah mewujudkan ke-insan-an pada dirinya. Manusia harus berjihad dan berperang terhadap nafs-nya untuk menjadi manusia yang utuh. Ia mesti menaklukkan nafs hewani-nya karena kecenderungan-kecenderungan hewaninya ini merupakan musuhnya yang terbesar. Jika ia tidak berjuang menaklukkan musuhnya ini, ia tidak berbeda dengan hewan.

"Musuhmu yang paling berbahaya adalah musuhmu yang ada di antara dua sisimu (lambungmu)" (Al-Bihar 70 : 64).

Imam Musa al-Kazhim as berkata : "Berjihadlah atas nafs (diri)-mu untuk menolaknya dari hawa (nafs)-nya karena sesungguhnya itu merupakan kewajiban atasmu sebagaimana berjihad terhadap musuhmu !" (Al-Bihar 78 : 315).

Seperti terhadap urusan-urusan duniawi, kitapun harus membuat program untuk melatih diri kita daam rangka menaklukkan atau menjinakkan nafs kita agar terkendali. Tanpa riyadhah (latihan dan disiplin) kita hanya akan menjadi makhluk yang tiada berbeda dengan hewan. Rutinitas kita di dalam urusan-urusan duniawi tidak akan meningkatkan nilai nafs kita. Kita tidak akan terangkat menjadi Insan Ilahiyah, manusia yang berjiwa ketuhanan.

Mungkin Imam Ali as bisa menjadi contoh insan yang telah berhasil menaklukkan diri (nafs)-nya, yaitu ketika beliau berperang tanding melawan musuhnya. Ketika musuhnya terjatuh, Imam segera mengayunkan pedangnya, namun sebelum Imam menggerakkan pedangnya, musuhnya meludahi wajah beliau. Wajah Imam Ali memerah karena marah. Namun yang mengejutkan musuhnya, Imam justru berbalik mengurungkan niat untuk membunuhnya. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat beliau bertanya kepada Imam : "Mengapa Anda tidak jadi membunuhnya ?" Imam menjawab, "Pada awalnya aku berperang demi Tuhanku, tetapi ketika lelaki itu meludahi wajahku, kemarahanku telah mengubah niatku itu, aku marah bukan karena-Nya lagi, karena itu kuurungkan niatku untuk membunuhnya. Aku takut jika aku membunuhnya bukan karena Allah tetapi karena diriku semata !" Suatu sosok pribadi yang mulia telah memberikan contoh yang begitu menarik untuk direnungi. "Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami" (QS Al-Ankabût : 69).


TAHAPAN KEEMPAT - MEMFANAKAN DIRI

Memfanakan diri atau meniadakan diri adalah upaya untuk hijrah dari rumah kedirian (ego). Ini tahapan tertinggi di dalam jenjang (maqam) para sufi. Biasanya setelah ini para sufi akan sirna dalam Allah (Wahdat al-Wujud). Pada saat ini kita masih terperangkap dalam kedirian kita yang teramat gelap. Kita masih berputar-putar dalam keinginan-keinginan diri kita semata. Apapun yang kita inginkan, kita menginginkan untuk diri kita sendiri. Pandangan dan pikiran-pikiran kita hanya terpaku pada kepentingan-kepentingan dunia belaka. Karena itu tahapan ini seseorang harus rela menanggalkan cinta diri dan cinta dunia. Ia harus meneladani Nabi Musa as yang hendak menghadap Tuhannya. Allah Swt berfirman : "Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci. Thuwa !" (QS Thaha : 12). Sebagian ahli 'irfan menakwilkan kedua terompah sebagai diri dan dunia. Karena itu di kalangan para arif ada golongan khala' al-na'lain (melepaskan kedua terompah). Diri merupakan berhala terbesar. Betapa sering kita senang mendengar jika kita dipuji-puji orang. Kita selalu melakukan kebaikan atau amal saleh hanya jika itu mendatangkan keuntungan bagi kita dan pada saat yang sama pula kita menolak kebenaran dan kebaikan jika itu tidak mendatangkan keuntungan pada diri kita. Semua tindak tanduk kita terpusatkan pada diri kita sendiri. Bahkan kepedulian dan perhatian kita kepada orang lain hanya muncul apabila itu mendatangkan keuntungan bagi kita. Mungkin inilah yang dinamakan egoisme, yang menarik seseorang kepada keinginan-keinginan diri sendiri semata.

Manusia memang memerlukan tangan-tangan gaib untuk dapat membebaskannya dari kuil diri atau dari penyembahan diri yang tiada disadarinya. Tangan-tangan gaib itu adalah para nabi dan para wali-Nya yang suci. Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah hadis Nabi Saww. Seseorang bernama Majasyi' datang kepada Rasulullah Saww dan bertanya kepada beliau : "Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju pengenalan kepada Allah (al-Haqq) ?" Rasul Saww menjawab : "Pengenalan diri". Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara menyesuaikan diri dengan Allah ?" Rasulullah Saww menjawab : "Menyelisihi (nafs) ego". Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju keridhaan Allah ?" Jawab Nabi : "Membenci ego." Dia bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara untuk sampai kepada Allah?" Jawab Nabi : "Hijrah dari ego." Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah bagaimana jalan untuk taat kepada Allah". Jawab Nabi : "Menentang ego". Orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara berzikir kepada Allah ?" jawab Nabi : "Melupakan ego."

Dia bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara mendekat kepada Allah ?" Jawab Nabi : "Menjauhi ego."

Dia bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara berakraban dengan Allah ?" Nabi menjawab : "Melepaskan diri dari ego."

Akhirnya orang itu bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mencapai-Nya ?" Rasulullah saww menjawab : "Memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengatasi ego." (Mizan al-Hikmah 6 : 142-143). []



Oleh: Quito R. Motinggo
http://www.alhassanain.com/

MENGENAL NAFS (I)

Menurut kaum 'irfan, salah satu jalan untuk mencapai ma'rifatullah atau pengenalan kepada Allah adalah ma'rifat al-nafs atau pengenalan kepada diri. Kebanyakan dari mereka menyandarkan pandangannya itu kepada hadis Nabi Saww : "Barangsiapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya" (Bihar al-Anwar 2 : 32). Dari teks hadis ini bisa dipahami bahwa pengenalan diri merupakan keniscayaan yang dapat mengantarkan seseorang kepada pengenalan akan Tuhan. Mungkin karena itulah Imam Ali as berkata : "Aku heran kepada orang yang tidak (berusaha) mengenal dirinya, bagaimana (mungkin) ia bisa mengenal Tuhannya" (Mizan al-Hikmah 6 : 142).


DUALITAS SEMU NAFS

Syahid Murtadha Muthahhari di dalam tulisannya Falsafe Akhlaq mencoba menjelaskan dualitas semu dari nafs (diri). Beliau mengatakan : "Kerapkali Alquran berbicara tentang nafs manusia, yang mana manusia harus berperang melawannya, karena kecenderungannya yang buruk, seperti : "Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri (nafs) dari hawa nafs, maka surgalah tempat tinggalnya" (QS 79 : 40), dan ayat lainnya : "Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs yang mendapatkan kerahiman Tuhanku (QS 12 : 53). Namun di lain ayat, Alquran menghormati dan menyanjung nafs : "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada nafs (diri) mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik" (QS 59 : 19).

Muthahhari mengatakan : "Sekiranya nafs ini adalah nafs yang pertama (yang cenderung kepada yang buruk) maka alangkah baiknya jika mereka lupa." Dengan demikian seolah-olah ada dua nafs yang saling bertentangan. Karena itulah Murtadha Muthahhari membagi nafs menjadi dua macam : Nafs (diri) sejati dan nafs (diri) fantasi. Yang mana sesungguhnya nafs fantasi itu tidaklah maujud. Saya (penulis -red.) cenderung menyebut nafs sejati sebagai nafs insani, dan menyebut nafs fantasi dengan nafs hewani (Syahid Muthahhari kadang juga menyebut nafs fantasi dengan nafs hewani). Keberadaan keduanya hanyalah dilihat dari kecenderungannya. Jika nafs (diri) lebih condong kepada kesadaran Ilahiyyahnya (Ruh Ilahi), maka nafs ini dinamakan nafs insani, namun jika ia condong kepada unsur tanahnya atau jasadnya ia dinamakan nafs hewani. Hakikat nafs itu sendiri hanya satu yaitu nafs insani, sedangkan nafs hewani adalah nafs yang disangka manusia sebagai nafs hewani.


NAFS DAN HUBUNGANNYA DENGAN RUH DAN JASAD

Sachiko Murata di dalam bukunya The Tao of Islam juga mencoba menjelaskan makna nafs secara lebih rinci dan jelas. Ia mengatakan bahwa banyak pengarang tdak membedakan antara nafs dan ruh. Memang dengan tidak membedakan keduanya kita akan bingung. Karenanya, Sachiko Murata berusaha membedakan keduanya dan menjelaskan potensinya masing-masing. Ruh tercipta dari cahaya (nur) dan sebagaimana para malaikat, sepenuhnya terpisah dengan dunia jasadi (materi). Sebaliknya, jasad atau tubuh manusia yang tercipta dari tanah liat bersifat gelap. Sementara nafs memiliki sifat-sifat dari kedua pihak tersebut dan bertindak sebagai perantara keduanya (ruh dan jasad). Nafs menjadi lembut dan bercahaya ketika menjalin hubungan dengan ruh, sebaliknya menjadi keras, padat, da gelap ketika menjalin hubungan dengan jasad. Posisi nafs berada di antara ruh dan jasad, ia menjadi barzakh (tanah genting) di antara keduanya . Biasanya nafs dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah dari ruh, karena ruh berasal berasal langsung dari Tuhan : "Dan telah Kutiupkan ke dalam jasadnya Ruh-Ku" (QS 15 : 29). Dari ruh sifat-sifat Ilahi mengalir ke dalam nafs, seperti sifat-sifat kehidupan, pengetahuan, kehendak (iradah), kekuasaan (qudrah), pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan. Nafs muncul setelah ruh, karenanya sering diacu sebagai anak ruh. Nafs bersikap reseptif dengan mewujudkan sifat-sifat ini melalui jasad. Ruh menyuburkan nafs dan nafs melahirkan aktivitas-aktivitas jasadi di dunia terlihat. Begitu ruh dan nafs hidup dalam keselarasan, yaitu masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan hubungan itu, maka dimensi batin manusia akan merasakan kedamaian. Sebaliknya, jika terjadi kegagalan di dalam mewujudkan keselarasan dan keharmonisan antara ruh, nafs, dan jasad, manusia akan merasakan kegelisahan atau ketidaknyamanan. Sachiko Murata menggambarkan posisi ruh, nafs, dan jasad dengan mengatakan :


Tuhan adalah langit dan ruh adalah bumi
Ruh adalah langit dan nafs adalah bumi
Nafs adalah langit dan jasad adalah bumi
(The Tao of Islam)



NAFS FANTASI DAN KECENDERUNGAN BASYARIYYAH

"Demi nafs dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada nafs itu kefasikan dan ketakwaannya" (QS 91 : 7-8).

Nafs yang condong kepada takwa, sesungguhnya telah ditarik oleh Ruh Ilahi, yang merupakan unsur Ketuhanan. Sebaliknya, jasad yang mewakili unsur tanah atau materi menarik nafs kepada kefasikan. Kecenderungan nafs kepada tanah atau kepada jasad disebut sebagai kecenderungan basyariyyah seperti makan, minum, berhubungan seks, dan segala aktivitas yang juga dilakukan oleh hewan. Karena itu Murtadha Muthahhari juga menyebutnya dengan nafs hewani (diri hewani). Tatkala Iblis membangkang untuk bersujud kepada Adam, ia berkata : "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyar) yang Engkau telah menciptakan dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi betuk " (QS 15 : 33). Iblis menggunakan kata basyar mengacu kepada penciptaan jasad manusia . Ia tertipu dan terhijabi oleh kecongkakannya sehingga ia melupakan bahwa selain sisi gelapnya , manusia juga memiliki sisi terang : "Dan telah Kutiupkan ke dalam (jasad)nya Ruh-Ku" (15 : 29). Ada secercah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Semua manusia termasuk Nabi Saww juga sama memiliki kedua macam nafs ini. Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Saww untuk mengatakan kepada manusia seperti manusia lainnya : "Katakanlah : "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu " (QS 18 : 110). Dalam banyak kesempatan Nabi Saww berkata kepada khalayak manusia : "Aku ini juga manusia seperti kalian, makan, minum, berkumpul dengan istri, dan berjalan di pasar-pasar."

Sesungguhnya kecenderungan basyariyyah ini tidak seluruhnya buruk, selama kecenderungan-kecenderungan ini diletakkan pada proporsi yang semestinya. Allah Swt justru memberikan pahala jika kecenderungan ini ditempatkan pada tempatnya, tetapi jika kecenderungan ini keluar dari batas-batas yang proporsional, maka hal inilah yang dicela agama.

Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Saww tentang hubungan sebadan antara suami istri. "Bukankah kita merasakan nikmatnya, ya Rasulullah. Mengapa kita masih mendapat pahala juga ?" . Beliau menjawab, "Bukankah bila kamu menyalurkannya di jalan yang haram kamu berdosa ?" Sahabat menjawab,"Ya". Rasul berkata lagi, "Begitu juga kamu akan diberi pahala jika menyalurkannya pada jalan yang halal !" (Mustadrak al-Wasa'il 2 : 531).


TARIK MENARIK UNSUR TANAH DAN RUH ALLAH

Ruh Allah yang ditiupkan ke dalam jasad manusia merupakan sebuah potensialitas yang mampu menarik nafs dan mengangkatnya ke puncak kesadaran Ilahiyyah. Dengan ruh Ilahi inilah nafs sanggup mengadakan mi'raj melalui tafakkur, zikir, dan shalatnya. Dan dengan kesadaran Iahiyyah ini pula nafs mampu membentuk manusia yang arif, kuat, kreatif, serta memiliki tujuan yang luhur. Nafs yang mampu mencerap kekuatan ruh Ilahi dan sanggup mengontrol kecedenderungan jasadnya, akan mampu menarik manusia ke kesempurnaan Ilahi yang tiada batas. "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya" (QS 95 : 4-5). Kata taqwîm mempunyai asal dan akar kata yang sama dengan al-qawîm yang berarti bagus, benar, dan atau lurus. Nafs insani mengarahkan manusia kepada Shirath al-Mustaqîm, jalan yang lurus ke surga ! Sebaliknya nafs hewani menjatuhkan manusia ke tempat yang rendah, neraka !

Tarik menarik yang berlawanan arah inilah yang senantiasa terjadi dalam diri (nafs) manusia. Karena itu jika manusia tidak segera mengambil langkah pasti untuk bermujahadah (berjihad terhadap nafs hewaninya -basyariyyah) niscaya ia akan dihinggapi keraguan. Ia menjadi seperti tangkai pendulum yang berayun-ayun antara ke dua arah itu. Nafs manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, Ruh Allah (kecederungan Ilahiyyah-nya) atau tanah ( : fisik - kecederungan basyarinya). Isyarat-isyarat itu, misalnya, terdapat pada surah 90 : 10, "Sesungguhnya beruntunglah manusia yang menyucikan nafs (diri)-nya dan sesungguhnya merugilah dia yang mengotori naf-nya" (QS 91:9-10).

Oleh: Quito R. Motinggo
http://www.alhassanain.com/

MENGENAL KESEMPURNAAN MANUSIA [1]

1. Tentang Kesempurnaan


Pengenalan Kesempurnaan

Untuk mengenal kesempurnaan apapun, langkah awal yang harus dilakukan adalah mengenal substansi dan hakikat sesuatu tersebut, karena apabila hakikat sesuatu tidak menjadi jelas, maka mustahil ada kemungkinan untuk mengenal kesempurnaannya.

Tuhan Yang Maha Mengetahui mencipta beragam eksistensi berdasarkan hikmah-Nya. Dalam mekanisme penciptaan tersebut, masing-masing eksistensi memiliki karakteristik dan kecenderungan tertentu dengan fungsi dan manfaat dalam syarat-syarat yang tertentu pula, sedemikian sehingga tujuan khusus dari masing-masing mereka berbeda dari selainnya dan masing-masing mereka pasti akan melakukan aktifitasnya dalam ruang lingkup dan asas yang telah ditentukan oleh Tuhan. Demikian juga, menghilangkan batasan dan ruang lingkup aktifitas masing-masing perangkat eksistensi atau bahkan pemusnahan salah satu dari wujud mereka ini senantiasa akan diiringi dengan kerugian global yang tidak bisa tergantikan. Dan karena di alam eksistensi ini mustahil terjadi perulangan penciptaan, dan setiap batas dan bentuk dengan seluruh syarat-syarat wujudnya mempunyai karakteristik dan pengaruh yang khas, maka tujuan dari maujud masing-masing penciptaan sama sekali tidak akan bisa digantikan oleh selainnya. Dalam ilmu tasawuf dan irfan teoritis, masalah ini dituangkan dalam bentuk sebuah kaidah yang mengatakan bahwa perulangan dalam tajalli dan penampakan adalah mustahil.

Dari keempat poin di atas, yaitu 1. pengenalan kesempurnaan bergantung pada pengenalan substansi dan hakikat benda, 2. masing-masing eksistensi memiliki karakteristik, pengaruh dan manfaat tertentu dalam koridor syarat-syarat tertentu pula, 3. menghilangkan salah satu eksistensi dalam mekanisme penciptaan adalah mustahil dan akan menimbulkan kerusakan sistem, 4. pengulangan dalam penciptaan maujud-maujud tertentu adalah mustahil atau pengulangan dalam manifestasi adalah mustahil; akan bisa mengantarkan kita kepada pemahaman tentang mekanisme dan sistem penciptaan yang penuh dengan hikmah, agung, rapi dan teratur yang berujung pada dimensi yang menakjubkan akan kebesaran Sang Pencipta Alam Eksistensi.

Di bawah ini kami akan menganalisa dan mengkaji satu persatu dari keempat poin di atas:


1. Mengenal Kesempurnaan lewat Pengenalan Hakikat

Pengenalan kesempurnaan bergantung pada pengenalan hakikat, yaitu kita akan menemukan arah dan tujuan serta dimensi kesempurnaan wujud sesuatu sebatas kemampuan kita dalam mengenal hakikat dan esensinya. Pengetahuan manusia pun seluruhnya berputar mengelilingi tolok ukur ini, sedemikian sehingga setiap cabang ilmu hanya akan mengalami kemajuan dan perkembangan ketika telah mampu mengenal subyek-subyek yang ada di dalamnya secara mendetail dan telah mampu menemukan lebih banyak karakteristik dan keistimewaan serta pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Seorang ahli botani, selama dia belum mampu mengenali substansi sesuatu dan belum melakukan analisa dan eksperimen terhadap wujud sesuatu, maka dia tidak akan mampu menentukan khasiat dan karakteristik wujudnya dan memhami kesempurnaannya. Seseorang yang hingga saat ini tidak pernah melihat jeruk nipis dan tidak mengenal wujudnya, dia tidak akan mengetahui bahwa kesempurnaan jeruk nipis terletak pada keasamannya, semakin asam rasanya akan semakin sempurna keberadaan dan eksistensinya. Seseorang yang mengetahui substansi air, dia akan mengetahui bahwa paling sempurnanya air adalah yang tidak berasa, tidak berwarna, dan memiliki massa tertentu. Tentunya, terkadang pengenalan seperti ini diperoleh dari pengalaman berturut-turut dalam mengamati pengaruh-pengaruh suatu benda, dimana metodologi ini sama sekali tidak bertentangan dengan asumsi kami, karena dengan eksperimen terkadang esensi sesuatu dapat dikenali baik secara mutlak ataupun nisbi dan kemudian menentukan kesempurnaan dan tujuan wujudnya dengan berpijak pada pengenalan esensinya.


2. Performansi Khas Setiap Eksistensi

Setiap eksistensi di alam penciptaan mempunyai fungsi, manfaat, dan tanggung jawab khusus untuk melakukan suatu aktifitas dalam syarat-syarat yang tertentu. Kita mengetahui bahwa seekor kambing tidak akan terlahir dari seekor rubah dan biji kurma tidak akan pernah berbuah anggur, karena setiap wujud memiliki batasan, sifat, dan karakteristik khas yang membuatnya hanya bergerak dan beraktifitas pada batasan tertentu tersebut. Hal ini sedemikian sehingga ketika seorang ahli pertanian hendak memulai menanam bibit dan biji tertentu di lahan pertanian, pada awal tahapan itu juga dia telah mampu menggambarkan pekerjaan-pekerjaan yang akan dia hadapi pada sekian tahun yang akan datang, dia telah bisa menggambarkan keuntungannya, bentuk, dan kondisi buah serta panennya. Petani ini mengetahui tahapan pembibitan, penanaman, dan panennya, dan pengetahuannya ini tidak lain karena adanya pengenalan hakiki terhadap kesempurnaan wujud biji itu, hal ini terbukti dengan keberhasilan panen. Apabila pengetahuan ini tidak mendetail, maka tidak ada satu pekerjaanpun yang akan membawa ketenangan dalam kehidupan manusia dan tidak seorangpun akan rela melakukan suatu pekerjaan.

Jadi, kemudahan perputaran roda kehidupan masyarakat bergantung pada satu poin berikut bahwa seluruh pengaturan program-program kehidupan telah didesain berdasarkan fungsi dan peran penciptaan. Oleh karena itu, dengan mengenal manfaat setiap maujud berarti ia telah menetapkan asas usaha berdasarkan pengaturan di atas, yang hal ini akan mengantarakannya pada hasil yang sesuai. Sebagai misal, apabila seseorang menanam gandum akan tetapi yang keluar adalah padi, maka ketidakjelasan dan kebingungan yang muncul dari peristiwa ini sedemikian berat sehingga hal ini akan bisa mengakibatkan destruksi dan musnahnya generasi manusia pada masa yang akan datang.


3. Pemusnahan Salah Satu Ciptaan Menyebabkan Kekacauan

Penghapusan salah satu asas penciptaan atau pemusnahan salah satu wujud ciptaan niscaya akan menyebabkan kekacauan dan kehancuran mekanisme penciptaan. Mekanisme eksistensi merupakan satu realitas yang tunggal, dimana seluruh partikel-partikel dan anggota-anggota dalam mekanisme tersebut, beroperasi dan berjalan secara serasi, teratur, dan saling memberikan efek dan pengaruh, dan yang menakjubkan adalah bahwa seluruh realitas alam mengarah pada satu tujuan universal dan senantiasa mengalami kesatuan dan keterikatan alami.

Mengenai masalah ini, dalam filsafat Hikmah Muta'aliyah, Mulla Sadra menjelaskan bahwa alam eksistensi merupakan hakikat tunggal yang kemajemukan dan keberagamannya kembali kepada kemanunggalannya.[1] Alamah Thabathabai pada beberapa tempat dalam kitabnya al-Mizan menekankan tentang kesatuan alam eksistensi, keragaman aktifitas maujud, dan kesatuan tujuan dari majemuk eksistensi. Dari sini disimpulkan bahwa menghilangkan salah satu dari anggota eksistensi akan merusak sistem operasional global yang berlangsung pada seluruh eksistensi dan akan memicu ketidakseimbangan dalam seluruh dimensi mekanisme penciptaan. Tentunya menghapuskan salah satu realitas, fungsi, dan manfaat sesuatu dari alam eksistensi adalah berbeda dengan perubahan salah satu substansi menjadi substansi yang lain, dengan kata lain, kemungkinan terbakar dan musnahnya sebuah pohon adalah sangat mungkin terjadi, akan tetapi pohon yang telah terbakar itu tidak berarti bahwa ia telah menjadi tiada dan musnah dari alam wujud, melainkan ia hanya mengalami perubahan dari satu wujud ke wujud yang ain, dan persoalan ini secara normal terjadi pada seluruh maujud dan eksistensi alam. Yang mustahil terjadi adalah musnahnya satu satu eksistensi yakni keberadaannya terhapus dan hilang sama sekali dari mata rantai eksistensi, dan tidak mengalami perubahan ke dalam bentuk yang lain.

Beberapa waktu yang lalu pada salah satu negara barat, pihak pemerintah mengubah sebuah hutan menjadi sebuah jalan yang hal ini menjadi bahan aksi dan protes sekelompok ilmuwan, mereka mengatakan bahwa pemanfaatan yang tidak logis ini akan menyebabkan perubahan pada mekanisme ekosistim alam dan akan menciptakan lingkungan kehidupan yang tidak seimbang bagi generasi manusia mendatang. Demikian juga terdapat beberapa kelompok ilmuwan yang mengutarakan keberatannya ketika sekelompok lainnya hendak menciptakan obat-obatan untuk memusnahkan dan menghilangkan generasi nyamuk dan lalat dari alam eksistensi, para penentang mengatakan bahwa nyamuk dan lalat merupakan salah satu realitas penciptaan alam dan kita tidak boleh semudah itu untuk menghapuskannya.

Setelah melakukan beberapa kali pengkajian ulang, akhirnya mereka sampai pada kesimpulan penting berikut bahwa apabila hal ini dilaksanakan maka manusia akan kehilangan anggota inti mekanisme penyerbukan, karena fertilisasi dan penyerbukan pada sekelompok besar tumbuhan dilakukan oleh makhluk-makhluk kecil ini. Jadi, setiap eksistensi wujud yang berada di alam ini, masing-masing bergerak sesuai dengan arah, tujuan, fungsi, karakter, sifat, manfaat, dan kewajiban mereka, dan aktifitas mereka di alam natural ini begitu jelas dan bertujuan, yang hal ini telah tertetapkan sebelumnya. Jadi, sebenarnya mereka semua bergerak ke tujuan satu dengan langkah-langkah yang berbeda, jelas, dan rasional.


4. Kemustahilan Pengulangan Penciptaan Maujud Tertentu

Pernyataan ini mempunyai makna bahwa di alam mekanisme penciptaan eksistensi ini tidak diciptakan dua wujud yang memiliki sifat dan karakter yang mutlak sama. Dua helai daun dari sebuah pohon tidak akan pernah sama secara sempurna. Dua butir kacang, dua tangkai anggur, dua biji delima dalam sebuah delima, mustahil memiliki kesamaan secara mutlak, dan minimal mereka memiliki perbedaan pada ruang dan waktu. Pada poin ini, al-Quran mengisyarahkan dengan firman-Nya, "Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan"[2]. Yakni setiap "detik" Tuhan memencarkan rahmat-Nya dan mencipta suatu realitas yang khusus.

Sebuah 'akibat' senantiasa mengikuti 'sebabnya', dengan ini setiap maujud merupakan hasil dan 'akibat' dari 'sebabnya' sendiri dan senantiasa mengikuti rangkaian kausalitas wujud, dan pada dasarnya 'akibat' yang khas merupakan intisari dari 'sebab' khas, dimana bentuk dan karakteristik wujud 'akibat' pun memiliki kekhususan sesuai dengan yang diciptakan oleh sebab yang khas pula, karena itu 'akibat' juga mempunyai fungsi, manfaat, dan kecenderungan tertentu. Jadi, jelaslah bahwa kondisi, waktu, dan tingkatan wujud setiap 'sebab-sebab' memiliki perbedaan satu sama lain, dengan demikian konsekuensinya adalah juga terjadi perbedaan alami pada masing-masing 'akibat' yang diwujudkan oleh 'sebab-sebab' tersebut. Sebagai contoh, setiap orang tua akan melahirkan anak, dan anak-anak yang kelak merupakan orang tua masa datang ini akan melahirkan anak-anak pula yang memiliki keistimewaan dan karakteristik tertentu yang berbeda dengan anak-anak lain. Atau setiap biji dan batang akan mengeluarkan buah sesuai dengan kondisi tanah dan iklim, dan setiap hasil dan buah akan mempunyai karakteristik dan keistimewaan tersendiri sesuai dengan tanah dan iklim dimana dia tumbuh.

Dari pendahuluan di atas, bisa dipahami dengan baik bahwa tingkat kesempurnaan setiap eksistensi terletak pada tujuan khas yang telah tertetapkan dalam perjalanan wujudnya secara alami. Dari sini, kesempurnaan setiap eksistensi bergantung pada tujuan dan maksud yang telah ditetapkan padanya dalam mekanisme alam penciptaan, dan mengimplementasikan tujuan pada batas yang sesuai tersebut merupakan suatu kesempurnaan bagi setiap realitas wujud dalam kesatuan majemuk eksistensi. Rasa dan bau obat-obatan penyembuh yang terdapat di dalam buah-buahan dan makanan bukan hanya tidak sesuai dengan selera manusia bahkan bisa menimbulkan ketidaksenangan dan phobia pada manusia.

Dengan demikian, pengaruh dari tujuan yang telah diatur pada beragam eksistensi alam sedemikian kuatnya sehingga masing-masing memiliki tanggung jawab dalam aktifitasnya sendiri tanpa menunggu pengaruh dari eksistensi lain. Bahkan apabila orang menyangka bahwa rasa obat-obatan yang pahit sebagaimana pengaruh dan efek rasa madu yang manis dan lezat, demikian juga menganggap rusa sebagaimana karakter singa, kambing dan rubah, berarti dia tidak memiliki informasi dan pengetahuan tentang mekanisme Ilahi yang sangat mendetail ini dan juga tidak memiliki ilmu terhadap aturan dan hukum dalam tingkatan eksistensi. Kebodohan semacam inilah yang telah menyebabkan persoalan 'kesempurnaan' menjadi sangat sulit dijelaskan bagi sebagian kelompok, sehingga mereka mengingkari kesempurnaan universal dalam mekanisme penciptaan atau menolak kesempurnaan masing-masing maujud atau mereka menggambarkan makna kesempurnaan secara universal kemudian membandingkannya dengan eksistensi-eksistensi partikular sehingga mendefenisikan kesempurnaan setiap maujud sebagai sesuatu yang relatif.


Relatifitas Kesempurnaan

Karena berpijak pada pandangan bahwa kesempurnaan itu bersifat mutlak dan umum, akhirnya mereka beranggapan bahwa apakah rasa asam bisa dikatakan sebagai sebuah kesempurnaan? Jawabannya adalah negatif, karena meskipun keasaman tersebut merupakan kesempurnaan pada jeruk nipis, akan tetapi pada banyak buah-buahan, asam dan kecut kadangkala merupakan cacat dan tidak sempurna. Demikian juga keganasan singa, meskipun bagi singa merupakan sebuah kesempurnaan, akan tetapi karakter keganasan bukan merupakan sifat kesempurnaan bagi kambing dan rusa. Kegemukan pada kambing merupakan kesempurnaan baginya akan tetapi pada kuda merupakan suatu ketidaksempurnaan. Jadi kesimpulannya, kesempurnaan secara mutlak merupakan suatu gambaran pikiran yang memiliki individu-individu di alam nyata, atau bisa dikatakan bahwa kesempurnaan itu sendiri (bukan gambaran dalam pikiran) berada di alam nyata dan bersifat nisbi.


Sebuah Kritikan dan Solusinya

Kritikan dan sanggahan ini muncul karena adanya anggapan bahwa kesempurnaan merupakan makna yang mutlak atau umum, sehingga mereka kemudian mencari makna mutlak tersebut di alam eksternal, akan tetapi tidak menemukannya. Dari sinilah kemudian mereka beranggapan tentang kesempurnaan bersifat relatif atau bersifat ideal. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa pada mekanisme alam eksistensi ini, kesempurnaan setiap maujud atau eksistensi mempunyai karakteristik dan batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh perangkat penciptaan - sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya - dan akal sama sekali tidak akan menggambarkan lahirnya kesempurnaan khusus sebuah eksistensi dari eksistensi yang lain. Bahkan pada sistem alam eksistensi, keistimewaan dan karakteristik saling berbeda dan bisa jadi keistimewaan dan kesempurnaan yang sangat sesuai untuk sebuah eksistensi tertentu, merupakan ketidaksempurnaan dan aib bagi eksistensi yang lain. Jadi, pada mekanisme yang dinamakan sebagai mekanisme paling sempurna oleh al-Quran ini, sebagaimana fenomena-fenomena di alam eksistensi memiliki keragaman, maka kesempurnaan setiap sesuatu adalah berbeda dengan kesempurnaan-kesempurnaan maujud lainnya, dengan ungkapan lain, akar kesempurnaan dalam maujud-maujud di alam ini adalah berbeda dan beragam, bukan nisbi dan bertambah.


Definisi Kesempurnaan

Jadi, dalam bentuk sebuah kaidah bisa dikatakan sebagai berikut bahwa kesempurnaan setiap eksistensi dan maujud adalah mengaktualnya potensi-potensi khusus yang diletakkan oleh mekanisme alam penciptaan atasnya dan tidak adanya penyimpangan dan halangan pada perjalanan dan gerak menuju kesempurnaan dan pengaktualan potensi-potensi yang telah ditentukan untuk mereka.


2. Dimensi Kesempurnaan Manusia


Pendahuluan

Sebagaimana yang telah kami katakan, kesempurnaan setiap eksistensi harus ditemukan dalam mekanisme penciptaan wujud tersebut di alam. Untuk melakukan hal ini, pada langkah pertama harus dilakukan pengenalan terhadap eksistensi tersebut untuk menemukan kedudukannya dalam alam penciptaan, setelah itu dibutuhkan spesialisasi yang untuk mengetahui, memperkirakan, dan terakhir memberikan kesimpulan yang layak. Tentunya persoalan ini tidak bisa dilakukan dengan merujuk pada pendapat masyarakat umum, dengan misalnya bertanya siapakah manusia yang sempurna dan berhasil, atau merujuk pada adat istiadat dan peradaban yang ada pada setiap zaman dan menerima apa yang diterima oleh setiap zaman secara taklid buta.


Mengenal Kesempurnaan Manusia

Dengan memperhatikan pemikiran di atas, maka hal-hal yang diperlukan untuk mengenal kesempurnaan manusia, adalah:

1. Mengenal dimensi kesempurnaan manusia;

2. Menetapkan dimensi terbaik di antara seluruh dimensi wujud yang dimilik manusia;

3. Mencari kesempurnaan yang layak dari poin terbaik;

4. Menemukan metodologi pendidikan dan pembinaan untuk mengarahkan manusia menuju titik kesempurnaan tertinggi;

5. Cerdas dalam melangkah, mengenal, dan memilih jalan dan tarikat di antara jalan-jalan yang telah dikenali;

6. Menemukan derajat dan kedudukan yang harus diperoleh pada perjalanan menyempurna ini,

7. Memperoleh akhir kedudukan yang ditempuh oleh seorang pesuluk dan sampai pada titik akhir kesempurnaan.


Pencapaian Tujuan Tertinggi Manusia

Syarat pertama untuk melakukan perjalanan ke arah tujuan tertinggi manusia adalah melaksanakan ketujuh poin di atas, dimana ketiadaan perhatian pada salah satu atau meninggalkan seluruhnya akan menyebabkan kebingungan dan kesesatan bahkan pada perjalanan yang pertama.

Poin pertama, sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, manusia merupakan sebuah majemuk dari seluruh tingkatan eksistensi dan merupakan contoh atau miniatur dari seluruh keberadaaan. Manusia yang paling sempurna akan memiliki seluruh kesempurnaan yang dimiliki oleh Sang Penciptanya.

Poin kedua, telah dikatakan bahwa dimensi terbaik dan terunggul yang dimiliki oleh manusia adalah dimensi non-materinya (akalnya) yang menyebabkan seluruh malaikat bersujud padanya.

Poin ketiga, kesempurnaan yang layak untuk kedudukan manusia ini adalah dia merupakan dan menjadi maujud yang terbaik dan paling sempurna di antara seluruh eksistensi, tidak menganggap dirinya kecil, rendah, dan tidak menjual dirinya untuk tingkatan yang lebih rendah seperti materi, melainkan memanfaatkan dan meletakkan seluruhnya sebagai alat dan wasilah dalam perjalanan menuju tingkatan tertinggi dan untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dan paling sempurna.

Poin keempat, melewati dan meniti jalan yang diperintahkan oleh Tuhan yang telah ditetapkan oleh-Nya dengan diturunkannya agama Islam lewat Nabi dan Rasul-Nya. Dimana hal ini harus ia lakukan dengan menghiasi aspek lahir dan dimensi batin dengan mengamalkan perintah-perintah dan aturan-aturan Tuhan (baca: syariat) serta tidak melakukan perlawanan terhadap aturan-aturan Ilahi tersebut sekecil apapun, dan pada langkah pertama dia harus menegaskan dirinya untuk melaksanakan lima hukum (wajib, mushtahab, mubah, haram, dan makruh) dan berusaha untuk menyebarkan dan mendakwakannya.

Poin kelima, meletakkan setiap jejak dan langkahnya dalam mengikuti orang-orang yang shaleh dan berilmu, berjalan sendiri sangat besar kemungkinan untuk tersesat karena dia tidak mampu mengenali jalan yang hak dan benar, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Musa bin Ja'far as dalam salah satu haditsnya, "Binasalah orang yang tidak memiliki pembimbing yang membimbingnya" dan sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Ali as, sebelum manusia mencapai tingkatan alim rabbani (orang yang mengenal Tuhan) dan mengetahui derajatnya, terlebih dahulu dia harus belajar untuk mendapatkan jalan keselamatan.

Poin keenam, mengetahui setiap tahap dari masing-masing derajat dan kedudukan spiritual, supaya dia tidak menghentikan langkahnya pada posisi yang telah didapatkannya, karena setiap kedudukan memiliki pengaruh yang sebegitu agung dan menakjubkan kadangkala hal ini memunculkan sangkaan pada seseorang bahwa dia telah sampai pada titik tertinggi dari kesempurnaan, sementara dia tidak mengetahui bahwa saat ini dia baru saja memulai perjalanannya yang begitu panjang. Salah satu persoalan yang paling urgen dalam melakukan perjalanan ke arah tujuan yang benar dan hakiki adalah terletak pada kesalahan dalam menentukan kedudukan dan derajat spiritual ini, yang tentu saja akan menyebabkan stagnasi dalam perjalanan ke tahapan selanjutnya. Pada tahapan ini, diharuskan ada seorang guru untuk membimbingnya ke derajat dan kedudukan tertinggi. Melakukan perjalanan spiritual seorang sendiri dengan tanpa guru sebagai pembimbing spiritual, kadangkala akan mengakibatkan perjalanan justru mengarah ke ambang kesesatan, kehilangan akal sehat, dan munculnya kebingungan. Apabila untuk melakukan perjalanan di alam ini saja kita harus mengetahui dan mengenal lintasannya, bagaimana mungkin kita akan bisa berjalan di alam transenden dan spiritual tanpa terlebih dahulu mengetahui dan mengenal lintasan perjalanannya dan tanpa adanya guru pembimbing?

Poin ketujuh, akhir dari derajat dan kedudukan manusia adalah perjalanan menuju ke Realitas Tak Terbatas, hal ini yang akan kami jelaskan secara panjang lebar pada bab mendatang.


Hakikat Insan dan Kesempurnaan Hakikinya

Faktor paling besar penyebab kesalahan dalam perjalanan manusia saat ini adalah ketidakjelasan dan ketiadaan perhatian terhadap hakikat manusia. Persoalan ini telah menyebabkan manusia meninggalkan fitrah yang benar dan terjerumus ke lembah kesesatan. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan, kesesatan, dan keburukan telah termanifestasi dalam bentuk tujuan yang tinggi sedangkan tujuan asli dan hakiki mereka lupakan. Dalam keadaan ini, hawa nafsu dan khayalan kosong dari sekelompok pengikut kesesatan akan menempati arah dan tujuan yang sebenarnya. Jadi, para ulama yang akan duduk sebagai pemimpin kafilah manusia dan memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin masyarakat adalah penting bagi mereka untuk terlebih dahulu berpikir tentang hakikat manusia dan berusaha menentukan identitas hakiki manusia untuk mengetahui poin-poin kesempurnaan yang layak untuk mereka.

Manusia yang sifat dasarnya adalah dari malaikat dan ruh Ilahi, "Dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku"[3], untuk apa mengarahkan dirinya pada suatu realitas yang bukan tujuan suci penciptaannya? Manusia yang Tuhan menyebut kedudukannya dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya"[4], tidak seharusnya menjadikan tempat tinggal abadinya di asfalus-safilin (paling rendahnya kedudukan), melainkan tempat terendah tersebut (baca: alam materi) harus dianggap sebagai batu loncatan menuju ke langit suci makrifat dan derajat tertinggi. Burung-burung angkasa yang sayapnya lebar yang tidak bisa tertampung dalam sebuah sangkar dan sarang manapun, sama sekali tidak layak terpenjara dalam sebuah sangkar yang sempit. Dia harus terbang bebas mengarungi angkasa, lautan, dan hutan-hutan.

Manusia yang kalbunya tidak dapat dipenuhi dan dipuaskan oleh realitas apapun, sehingga apabila planet bumi ini diserahkan kepadanya, ia tetap akan memikirkan untuk menguasai planet-planet lainnya, dan apabila telah menguasai seluruh alam, masih tetap memiliki keinginan untuk menguasai apa yang berada di luar alam, apakah dia akan merasa beruntung dan bahagia dengan hanya mengenyangkan perut dan syahwatnya? Tidak, sama sekali tidak demikian, apabila dia memiliki kapasitas wujud yang tidak terbatas, maka dia hanya layak untuk sesuatu yang juga tidak terbatas, dan kesempurnaan hakikat yang tak terbatas ini menuntut kehadiran realitas kesempurnaan yang tidak terbatas pula.

Ibarat di atas adalah kandungan dari ayat, "Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram"[5], yang dengan beberapa penegasan mengatakan bahwa satu-satunya yang mampu menenangkan hati dan memberi ketentraman serta kepuasaan pada kalbu dan jiwa manusia tidak lain adalah Sang Penciptanya sendiri. Dalam sebuah hadits mulia dikatakan, jiwa mukmin adalah 'rumah' Tuhan, maka janganlah kalian menerima selain Tuhan di dalam rumah ini. Kesempurnaan yang layak untuk manusia adalah tidak melepaskan diri dari mengingat Tuhannya dan mencintai-Nya dengan setulus hati.


Para Nabi dan Rasul sebagai Pembimbing Kesempurnaan

Karena Tuhan mengajak manusia ke arah kesempurnaan-Nya dan menjaminnya keamanan, ketenangan, dan kehancuran dunia serta juga memberikan kemudahan untuk menggapai realitas alam malakuti, maka Dia menciptakan teladan-teladan suci berupa Nabi, Rasul, dan Ahlulbait dan mengajak seluruh manusia untuk berjalan bersama mereka dan meniti jalan yang mereka lalui, teladan-teladan suci tersebut diletakkan sebagai contoh dari kalangan manusia yang telah mampu mencapai derajat dan kedudukan manusia yang paling tinggi. Dalam keadaan ini, karena kita belum menjadi manusia sempurna adalah logis apabila segala gerak dan langkah kita sebagaimana gerak dan langkah para manusia sempurna tersebut, dan kita bergerak dan berjalan di bawah hidayah dan bimbingan mereka. Hal ini persis seperti keadaan orang buta yang melakukan perjalanannya dengan meletakkan tangannya pada genggaman orang yang tidak buta. Sudah pasti orang buta tersebut akan melangkah sebagaimana orang yang tidak buta, dia akan aman dari bahaya kebutaan, karena meskipun dia buta, akan tetapi gerak dan langkahnya bukan gerak dan langkah orang buta. Dalam lingkup tujuan yang sangat agung dan berharga inilah kemudian tercipta maktab suci Ilahi untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan keinginan mulia manusia, dan mengingatkan bahwa apabila keinginan hakiki manusia tidak diiringi dengan hidayah khusus dengan perantara para teladan suci dan manusia sempurna, maka kesempurnaan tertinggi dan tujuan suci penciptaan manusia tidak akan pernah tergapai dan terwujud.


Dosa, Penghalang Perjalanan Menyempurna

Almarhum Allamah Thabathabai ra sepakat bahwa melakukan maksiat dan dosa sekecil apapun, akan mampu menjadi penghalang bagi perjalanan memasuki medan makrifat Ilahi, dan mengetahui kewajiban berkenaan dengan perintah-perintah suci Ilahi adalah syarat awal menuju kesempurnaan dan langkah awal seorang pesuluk. Tentu saja puncak kesempurnaan ini tidak dapat dengan mudah diperoleh karena menuntut penjagaan ketat dan kehati-hatian sempurna. Almarhum Allamah dalam risalahnya al-Wilayah menukilkan bahwa gurunya, almarhum Ayatullah Sayyid Ali Qadhi Thabathabai, mengatakan bahwa para pertapa India yang hanya memakan sebutir kacang dalam setiap minggunya, tidak tidur pada hari-hari tertentu, berdiri di atas satu kaki dengan merentangkan kedua tangan dalam sehari semalam, atau hal ajaib lainnya, pada dasarnya mereka telah lari dari amanah dan tanggung jawab yang besar dan beralih pada hal-hal yang mudah. Tanggung jawab yang besar dan perbuatan yang mulia adalah dalam waktu selama 70 tahun sama sekali tidak berbohong, ghibah, riya, memandang perempuan non-mahram, dan lain-lain. Sebagian dari murid almarhum Ayatullah Ogho Rahim Arbab menukilkan bahwa beliau berkata, sejak umur lima belas tahun hingga sekarang, aku tidak pernah satu kali pun memandang perempuan non mahram.

Jadi, kemestian pengamalan seluruh kewajiban dan perintah Ilahi merupakan syarat pertama untuk memasuki wilayah suci Ilahi dan secara bertahap dia akan mengalami perluasan kapasitas wujudnya. Amirul Mukminin Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah mengatakan, kalbu dan jiwa manusia merupakan wadah-wadah dan terbaiknya wadah adalah yang memiliki kapasitas yang terbanyak.

Program-program yang telah difirmankan oleh Tuhan untuk manusia dan tertuang di dalam agama suci Islam mengatakan bahwa badan materi merupakan sebuah eksistensi yang tidak abadi dan fana, maka jadikanlah badan-badan tersebut menjadi realitas ruhani dan Ilahi (yakni jiwa melesak ke alam tinggi malakuti), karena tidak mengikuti aturan-aturan Ilahi hanya akan menjadikan ruh menjadi realitas materi (yakni jiwa akan turun ke alam terendah materi). Kebodohan dan kejahilan yang tidak memberikan manfaat sedikitpun, lantas berperan dan berusaha dalam membumi hanguskan program-program Ilahi dan meletakkan segala sesuatu untuk berkhidmat kepada alam materi dan dunia, dan kejahilan ini dengan seluruh usahanya berupaya untuk menyimpangkan agama Islam supaya manusia-manusia malang terjebak dan terkubur dalam sifat dan prilaku hewan. Mereka menganggap bahwa tolok ukur kebahagiaan dan kesempurnaan manusia terletak pada motivasi-motivasi dalam memenuhi tuntutan syahwat dan perut, dan mereka tidak mengetahui sesuatu lebih dari hal itu.


Penyakit tanpa Rasa Sakit

Penyakit-penyakit tubuh terbagi menjadi dua kelompok, sebagian penyakit tubuh diikuti dengan rasa sakit yang tidak menyenangkan seperti penyakit pada sistem pencernaan atau infeksi-infeksi pada sistem-sistem organ yang diikuti dengan rasa sakit yang luar biasa pada anggota badan. Akan tetapi terdapat jenis penyakit lain yang mampu mengalami perkembangan sangat pesat di dalam tubuh manusia akan tetapi sama sekali tidak diikuti dengan rasa sakit, dan penderita penyakit semacam ini biasanya tidak mengetahui adanya kerusakan di dalam tubuhnya, seperti kejang yang terjadi pada pembuluh kapiler atau pengentalan darah yang timbulkan oleh sedimen bahan-bahan seperti lemak yang akan menekan jantung, hal ini secara bertahap dan tanpa diketahui oleh manusia akan mampu menghentikan detak jantung secara tiba-tiba dan hal ini berarti berakhirnya sebuah kehidupan.

Penyakit-penyakit ruh yang muncul karena tidak adanya kesempurnaan spiritual pun memiliki keadaan seperti tersebut di atas. Manusia tidak pernah merasakan adanya aib dan kekurangan di dalam dirinya karena dia telah terkekang dalam mekanisme materi. Dan karena manusia tidak mengetahui bahwa kecintaan atas materi tidak terhitung sebagai kesempurnaan dirinya, tidak bisa memuaskan fitrahnya, dan tidak bisa menjadi solusi bagi tuntutan potensi-potensinya, oleh karena itu dia sama sekali tak merasakan ketersiksaan sedikitpun. Dia hanya berpikir pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tabiat dan badannya dan dia tidak mengenal kebutuhan ruhani yang lebih tinggi dari itu. Orang-orang semacam ini tidak akan mendapatkan kesempurnaan hakiki, bersamaan dengan itu ia tak pula merasakan sakit dan kekurangan. Penyebab dari masalah ini adalah hati mereka sibuk, larut dan tenggelaman dalam lautan dunia materi. Al-Quran menamakan orang-orang semacam ini dengan orang-orang yang buta dan tuli dan saking tuli dan butanya sehingga dia tidak mengetahui penyakit yang diderita di dalam dirinya sendiri.

Akan tetapi ketika mereka melihat jarak yang begitu jauh dan penuh bahaya disertai dengan segala ketegangan dan ketakutan yang terjadi di alam akhirat, memahami bahwa dia tidak memiliki kendaraan dan alat untuk bergerak dan melihat betapa banyak nikmat-nikmat tak terbatas yang tercecer akan tetapi dia tidak mampu mengumpulkan dan memanfaatkannya, dan dia tidak mempersiapkan tempat tinggal dan kediaman abadi untuk dirinya, keadaan ini persis seperti seorang anak yang lahir dari ibu dan tidak memiliki mata, telinga, tangan, kaki, hidung, dan mata untuk melihat, mendengar, berjalan, bernapas, dan makan. Sebenarnya harus diketahui bahwa seluruh perintah dan aturan-aturan suci Tuhan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia di alam akhirat dan mempersiapkan kediaman abadinya.


3. Tahapan Akhir Kesempurnaan


Lintasan Gerak

Gerak manusia adalah ke arah realitas tak terbatas. Allamah Thabathabai ra dalam risalahnya al-Wilayah mengutarakan isyarah-isyarah yang diungkapkan oleh al-Quran dan hadits tentang tingkatan dan derajat akhir manusia ini. Pada risalah itu disinggung tentang lima tingkatan dan menentukan garis lintasan manusia:

Pertama: Hukum-hukum agama dan syariat suci Islam memiliki dimensi lahir dan batin;

Kedua: Mekanisme batin alam tidak berdasar pada mekanisme alam natural ini karena dia memiliki mekanisme tersendiri yang khusus dan tertentu;

Ketiga: Tidak ada sedikitpun keraguan bahwa para Nabi memiliki hubungan dan keterkaitan dengan batin alam ini;

Keempat: Pintu ke arah batin alam tersebut terbuka pula untuk umat manusia dan terdapat kemungkinan untuk melakukan hubungan dengan tingkatan dan derajat alam tersebut;

Kelima: Apa yang dicapai manusia dalam perjalanan suci ini adalah menggapai puncak kesempurnaan wujud.

Allamah Thabathabai ra pada masing-masing poin tersebut menyertakan juga sanad-sanad yang sesuai dari al-Quran dan hadits, bisa dikatakan bahwa risalah ini merupakan hasil karya yang sangat berharga pada kurun ini.

Almarhum Allamah pada poin keempat dari risalah tersebut mengatakan, "Sesungguhnya jalan paling dekat dan paling bermanfaat untuk bergerak ke arah kesempurnaan mutlak adalah perjalanan jiwa (seir anfusi)"[6], dengan makna bahwa pada lintasan ini, manusia sama sekali tidak akan bergelut dengan defenisi-defenisi dan pemikiran. Yang akan dihadapi hanyalah hakikat-hakikat wujud yang bisa ditemukan dalam jiwa manusia dimana hal ini akan menambah keluasan wujudnya. Pada topik ini, Allamah menyandarkannya pada salah satu ayat yang berbunyi, "… Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk …".[7]

Sedangkan pada poin kelima, beliau mengatakan,[8] "Manusia akan sampai pada suatu realitas dimana Tuhan akan menyingkap tabir dari mata-mata mereka dan meletakkan mereka pada golongan muqarribin (orang-orang yang didekatkan pada-Nya), Tuhan berfirman, "Tahukah kamu apakah 'Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)"[9], dimana pada posisi ini mereka akan 'menyaksikan' alam-alam keberadaan yang tertinggi dimana merupakan sebuah lembaran dimana keberadaan dan segala sesuatu yang terjadi di alam itu telah tertulis dan terjaga dengan rapi. Juga manusia akan mengalami penyempurnaan hingga sampai pada sebuah derajat yang jauh dari jangkauan dan pengaruh setan, karena setan berkata, "Demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (orang yang disucikan dan diikhlaskan) di antara mereka"[10].

Demikian juga akan sampai pada suatu tempat dimana mereka akan memperoleh balasan atas segala amal dan perbuatan sebagaimana manusia-manusia lainnya, dalam salah satu ayat-Nya berfirman, "Dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan"[11], akan tetapi pada kelanjutan ayat tersebut Tuhan berfirman, "Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa)."[12]

Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya, mengatakan, "Ya Allah! Mata manakah yang akan mampu bertahan ketika berhadapan dengan pancaran cahaya dan kodrat-Mu, dan akal manakah yang mampu menggapai kodrat dan cahaya-Mu, kecuali mata yang telah tersibak dari tabir dan hijab yang membutakan."[13]

Imam Ali as dalam munajat Sya'baniyah juga menganjurkan kepada kita untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt sebagai berikut, "Ya Allah! Terangkanlah mata hati kami untuk memandang kemuliaan-Mu supaya terbuka hijab-hijab yang ada di antara kami sehingga kami akan sampai kepada keagungan-Mu dan ruh-ruh kami bergantung pada seluruh kemuliaan suci-Mu."

Pada bagian yang lain, dari munajat yang sama, beliau bersabda, "Ya Allah! Sampaikanlah kami kepada cahaya kemuliaan dan cahaya menakjubkan yang Engkau miliki, sehingga kami mampu mengenal-Mu dan memalingkan wajah dari selain-Mu."

Allamah Thabathabai ra pada akhir risalahnya menyatakan, "Apabila kita berpikir dan bertadabbur dengan baik pada ayat-ayat dan hadits-hadits, maka akan kita temukan bahwa ternyata kita masih belum mendapatkan informasi sempurna tentang wilayah suci Ilahi dan apa yang akan mereka gapai dari kesempurnaan-kesempurnaan Ilahi tersebut, tak satupun ibarat dan ungkapan yang bisa digunakan untuk menceritakan secara utuh maqam, derajat dan kedudukannya sama sekali."[14]

Manusia merupakan satu-satunya eksistensi yang memiliki potensi dan kapasitas yang mampu meletakkan seluruh alam ini di dalam jiwa dan kalbunya, dan - sebagaimana yang telah kami katakana - apabila Allah menyebut seluruh alam dengan sebutan mikrokosmos dan dalam al-Quran memperkenalkan dunia dengan sebutan "sedikit" akan tetapi pada ayat lainnya menyebutnya sebagai sebuah "komoditi", dan mendefinisikannya sebagai sesuatu yang tidak berharga dan kecil, bukan disebabkan karena dunia ini memang tidak berharga dan kecil, melainkan karena kedudukan manusia yang besar, agung, dan sangat berharga, dan kapasitasnya yang sedemikian besar sehingga kalbunya merupakan arsy Ar-Rahman dan 'rumah' Tuhan, dimana pada salah satu hadits dikatakan, "Kalbu para mukmin merupakan tempat suci Tuhan" dan seluruh alam ini tidak berharga ketika berdampingan dengan realitas yang bisa menampung arsy Ilahi atau tempat suci Tuhan."[15]

Dari sinilah Amirul Mukminin Ali As mengatakan, "Perdagangan yang tidak beruntung adalah manusia yang menganggap dirinya memiliki nilai tertentu dan terbatas lalu dia menjual dirinya dengan nilai tersebut"[16]. Perdagangan seperti ini hanya akan menghasilkan penyesalan tak terbatas. Betapa indahnya, apabila manusia mengetahui citra, hakikat, dan nilai dirinya, dan melakukan amal dan perbuatan sedemikian sehingga dia mampu menyibakkan tabir yang menutupinya dan menggapai kesempurnaan dirinya dengan penuh kebahagiaan.


4. Pendidikan dan Pertumbuhan Akhlak dalam Islam


Makna Pertumbuhan dan Pendidikan

Kata pendidikan mempunyai makna menghasilkan dan menambah. Sedangkan kata pertumbuhan memiliki makna menjadi sesuat yang lebih baik, berkembang, dan berproses menuju posisi yang lebih sempurna. Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pembinaan - dalam proses pengajaran dan pendidikan - seorang manusia bukan berarti mengarahkan pertumbuhan badan dan menaikkan berat badannya, melainkan yang dimaksud adalah menyelamatkan manusia dari keterjebakan dalam dunia materi dan memberikan pemahaman akan arah dan tujuan yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih agung, dan lebih sempurna dari sekedar memuaskan instink dan syahwat semacam makan, tidur, berpakaian dan kebutuhan jasmani lainnya.

Jelaslah bahwa di atas mekanisme jasmani manusia terdapat mekanisme lain yang berkedudukan lebih tinggi dan lebih suci, dimana struktur dan pondasi derajat tersebut berada pada salah satu tingkatan wujud yang terletak lebih tinggi dari alam materi.

Manusia yang berkedudukan tinggi dan suci bukanlah mereka yang lebih baik dalam hal makan, minum, tidur, dan kelebihan dalam fasilitas-fasilitas materi lainnya, melainkan apabila mereka hanya mencukupkan pada persoalan-persoalan ini, berarti mereka malah telah terjerembab dari derajat insaniah menuju derajat hewaniah, dan kemerosotan manusia yang semacam ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah pertumbuhan atau kesempurnaan.

Hal ini sama artinya ketika kita menganggap alam eksistensi ini hanya sebatas alam materi - sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum materialis - karena dengan anggapan seperti ini berarti proses menyempurna yang ada pada alam eksistensi sama sekali tidak bermakna. Meskipun mereka telah merasionalisasikan kemunculan makhluk-makhluk hidup bahkan manusia dan mengatakan apabila di dalam alam natural ditemukan makhluk hidup, maka sebenarnya unsur-unsur maujud di alam eksistensi akan terkomposisi dan terwujud dalam bentuk yang lebih rumit dan lebih mendetail. Dengan ungkapan lain, partikel atom alam ini tetap konstan dan permanen, akan tetapi kadangkala mereka saling berbaur dalam bentuk yang sederhana, dimana dalam keadaan ini akan muncul eksistensi yang sederhana pula seperti in-organik dan tumbuhan; terkadang pula, atom-atom ini berkomposisi dengan sangat rumit dimana akan menghasilkan spesis hewan. Jadi perbedaan antara katak dengan batu, bunga, dan tumbuhan hanya terletak pada komposisi partikel atom atau unsur-unsurnya dalam bentuk yang lebih rumit, dan apabila kemudian terwujud manusia, hal ini terjadi pula dengan cara yang sama yaitu karena pengaruh penggabungan unsur-unsur dan partikel-partikel atom alam ini sedemikian mendetail dan lebih rumit dari makhluk lainnya, dengan ini terbentuklah eksistensi yang menakjubkan berupa manusia, akan tetapi tetap saja berada dalam lingkup unsur-unsur pertama materi dan tidak keluar darinya, dan apabila seluruh maujud yang terdapat di alam ini dikembalikan semula dalam bentuk atom-atom, maka jumlah atom-atom tersebut niscaya akan tetap dan konstan, tidak terkurangi dan tidak pula bertambah.

Dari penjelasan di atas, secara pasti bisa dikatakan bahwa perspektif ini tidak sesuai dengan proses kesempurnaan maujud-maujud, dan bahkan pernyataan mereka tentang kesempurnaan dalam bentuk di atas tidak diterima oleh aliran filsafat manapun, karena perubahan dari satu materi ke materi yang lain tidak bisa dikatakan sebagai sebuah proses kesempurnaan, melainkan hanya sebuah rangkaian penjumlahan dan pembagian dimana pada satu kondisi akan menggabung dan pada kondisi lain akan memisah. Dengan ibarat lain, sekedar perubahan kondisi tidak bisa dikatakan sebagai kenaikan derajat sebuah maujud. Suatu gerak akan bisa dikatakan sebagai gerak ke arah kesempurnaan ketika ada hasil pada setiap lintasan perjalanan yang dilaluinya, dimana hasil itu sebelumnya tidak dimiliki dan sekarang mengalami pertambahan.

Ibnu Sina menganggap bahwa setiap gerak merupakan kesempurnaan awal, yaitu langkah pertama untuk mencapai segala yang dikehendaki ialah gerak, dimana manusia atau setiap maujud akan bergerak dan mengarah pada tujuan. Bila tujuan yang akan dicapai tidak ada, melainkan antara wujud awal dan wujud akhirnya adalah sama dan tidak ada satu hal baru yang dihasilkan, maka aksi-reaksi semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah proses kesempurnaan.[bersambung]


Catatan Kaki:

[1] . Rujuk, al-Asfar, Mulla Sadra, jilid 6, hal. 266 dan 385.

[2] . Qs. Ar-Rahman: 29.

[3] Qs. Al-Hijr: 29.

[4] . Qs.At-Tiin: 4-5.

[5] . Qs. Ar-Ra'd: 28.

[6] . Risalah al-Wilayah, Allamah Thabathabai, hal. 37.

[7] . Qs. Al-Maidah: 105.

[8] . Risalah al-Wilayah, hal. 65.

[9] . Qs. Al-Muthaffifin: 19-21.

[10] . Qs. Shaad: 82-83.

[11] . Qs. Ash-Shaaffat: 39.

[12] . Qs. Ash-Shaaffat: 40.

[13]. Biharul Anwar, jilid 25, bab 1, hal. 29

[14] . Risalah al-Wilayah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 75.

[15] . Gurar wa Durar, Imam Ali as, hal. 112.

[16] . Ibid.

http://www.alhassanain.com/